Dalam
bebarapa kasus terakhir yang terjadi di peradilan Indonesia terdapat beberapa
kegagalan system hukum positif dalam menjawab rasa keadilan. Rasa Keadilan
menjadi objek pertama dalam menegakan hukum. Dalam menjalankan sistem hukum
hampir di seluruh negara yang ada di dunia ini tidak ada yang pernah puas
dengan sistem hukum yang di gunakan maka dari itu perlunya suatu pembaharuan,
perombakan dan pembelotan dalam
menegakkan hukum
di dunia ini.
Karena hukum positif telah gagal dalam menegakkan
hukum secara benar
yang berlandaskan keadilan Maka munculah suatu gagasan pemikiran baru yang
disebut dengan hukum
progresif. Pemikiran hukum progresif
merupakan suatu gagasan dari prof. Satjipto Raharjo yang awalnya beliau risau
dengan sistem hukum di Indonesia, kebanyakan system peradilan di indonisia ini
menganut penerapan hukum
yang sesat yang tidak berlandaskan rasa keadilan dan hati nurani malah lebih
mengedepankan kepastian-kepastian yang sudah ada sebelumnya. tujuan hukum pada awalnya yaitu menciptakan keteraturan demi mencapai kebahagian pada
umumnya.[1] Dasar
filosofi dari hukum
progresif yaitu hukum
suatu institusi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang
adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.[2]
Hal
ini senada dengan pendapat prof. Soetjipto Raharjo hukum adalah untuk manusia bukan
sebaliknya dan hukum
itu tidak ada untuk dirinya sendiri melainkan untuk sesuatu yang lebih luas
yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan
manusia.[3] Maka
dari sini dapat di simpulkan bahwa apabila terjadi suatu permasalahan di dalam
hukum maka
hukumlah yang harus di rombak atau di tinjau bukan manusianya yang di paksakan
untuk di masukkan kedalam skema hukum.
Hukum bertugas melayani manusai bukan
sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari
kepentingan manusia. Mutu hukum,
ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini
menyebabkan hukum
progresif menganut ideology hukum
yang pro-keadilan dan hukum
yang pro-rakyat.[4]
Hukum progresif mengajak para praktisi dan
akademisi hukum
untuk berpikir dengan menggunakan kecerdasan spiritual, berhati nurani dan
berpikir secara luar biasa, berpikir secara luar biasa ini dapat di kiaskan
dengan SQ (spritual quotient) yang mengandalkan cara-cara berpikir
yang kreatif, mematahkan kovensi-kenvensi jadul dengan membuat aturan baru dan
berani membebasakan diri dari doktrin-doktrin yang berlaku. Berbeda dengan cara
berpikir yang biasa yaitu cara berpikir yang tidak meninggalkan dan tidak boleh
memalingkan diri dari aturan yang sudah ditetapkan dan hal ini menggunakan cara
berpikir IQ (intelektual quotient)
yang bersifat kaku, rasional, logis, mekanistis dan berpaku pada peraturan
semata. Dalam hal ini pemikiran hukum
progresif tidak hanya memahami dan melihat sistem hukum secara normative tetapi melainkan
memahami hukum
secara empiris dan fleksibel.
Hukum progresif menempatkan diri sebagai
kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan
teori hukum
yang legalistic-positivistik. Dengan ini hukum progresif lebih mengutamakan tujuan
hukum daripada
prosedurnya.
Hukum progresif mematahkan dan menolak
untuk mempertahankan status quo dalam berhukum, status quo disini lebih
menerima normativitas dan sistem
hukum yang ada
tanpa melihat adanya suatu kelemahan dalam sistem hukum tersebut dan tidak ada usaha untuk
memperbaikinya dan hanya menjalankan hukum
seperti yang ada dalam peraturan saja.
Menurut
Van doorn, sosiologi hukum
Belanda mengutarakan secara lain hukum,
katanya adalah skema yang dibuat untuk menata perilaku manusia, tetapai manusia
itu sendiri cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya. Ini
desebabkan factor pengalaman, pendidikan, tradisi dan lain-lain yang
mempengaruhi dan membentuk perilakunya.[5]
Maka dari sini pemikiran hukum
progresif yaitu hukum merupakan prilaku manusia itu sendiri yang di pengaruhi oleh
pengalaman, pendidikan, tradisi. berbicara masalah pendidikan khususnya
pendidikan hukum. Selama ini lebih menekankan penguasaan terhadap
perundang-undangan yang berakibat terpinggirnya manusia dari perbuatannya di
dalam hukum. Sembilan puluh persen lebih kurikulum pendidikan hukum kini
mengajarkan tentang teks-teks hukum formal dan bagaimana
mengoperasionalisasikannya.
Prof
Satjipto menjawab pertanyaan banyak orang tentang apa yang dimaksud dengan
hukum progresif. Secara ringkas beliau memberikan rumusan sederhana tentang
hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun
bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk
menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.[6]
Seperti
yang di katakana oleh Prof. Satjipto berfikir secara progresif yaitu berfikir
dengan menggunakan kecerdasan spiritual, cara menggunakan kecerdasan spiritual
ini dapat menggunakan cara mencari makna dalam isi suatu peraturan yang sudah
ada. Menjalankan hukum
berbeda dengan membaca peraturan hukum
secara utuh melainkan mencari dan menemukan makna dari nilai-nilai yang
terkandung dalam peraturan hukum
tersebut. Apabila hanya membaca hukum secara utuh maka sama halnya
menggunakan kecerdasan rasional saja. dan pada akhirnya hukum tidak akan berkembang atau maju dan
tidak akan menciptakan rasa keadilan dan kebahagian dalam diri manusia.
Beberapa bulan terakhir ini terdapat beberapa kasus
yang terjadi di Indonesia misalnya beberapa contoh seperti kasus Prita yang
diseret di meja hijau karena keluhannya dianggap pencemaran nama baik oleh RS
Omni Internasional, kriminalisasi petani yang memperjuangkan tanah dari
penyerobotan pemilik modal, dan akhir-akhir ini adalah kasus kriminalisasi yang
dialami oleh Nenek Soetarti Soekarno (78th) dan Nenek Roesmini (77th) lantaran
dianggap membangkang dari surat perintah pengosongan rumah oleh Perum Pegadaian, dan kasus pembunuhan Moch. Asrori yang
pada awalnya David Eko Priyanto alias David dengan Imam Chambali alias Kemat yang
menjadi tersangka
dalam pembunuhan asrori ini. Dalam kasus-kasus tersebut hukum lebih nampakan sikap
dan cara pandang hukum yang bersifat legal-positivistik
Dalam kasus pembunuhan Asrori yang
terjadi pada tanggal 22 september 2007, jaksa penuntut umum mendakwa david dan
kemat melakukan kejahatan dalam pasal 340 KUHP jo 55 (1) , pasal 338 KUHP dan
pasal 55 (1) KUHP. Dan pada perkembangannya dalam kusus ini hakim pengadilan
negeri jombang yang pada waktu itu memutuskan bahwa terdakwa terbukti dengan
sah dan menyakinkan bahwa mereka melakukan tindak pidana “pembunuhan berencana”
yang mengakibatkan kematian terhadap korban yang bernama Moch. Asrori dan
hukuman yang di jatuhkan berupa pidana penjara selama 17 tahun kepada terdakwa Kemat
dan 12 tahun kepada terdakwa David. Kemudian pada tanggal 27 agustus 2008 Very
Idham Haryansyah atau lebih dikenal
dengan
Ryan mengaku bahwa dialah yang membunuh Moch. Asrori.[7] Setelah
adanya pengakuan Ryan maka terdakwa Devid dan Kemat di bebaskan tanpa syarat.
Mereka mengaku bahwa selama proses penyidikan
Devid dan Kemat mengalami penyiksaan yaitu mereka dipukuli dan ditodong pistol
dan dipaksa untuk mengakui kesalahan yang tidak pernah mereka lakukan. Mereka
tidak diperlakukan sebagaimana mestinya dalam proses penyidikan. Dalam hal ini
berbeda dengan kasus-kasus yang kerap di lakukan oleh pejabat tinggi Negara
yaitu kasus korupsi,
penyidik sangat memberi perhatian kepada hak-hak tersangka.
Dapat di ambil kesimpulan dari kasus
pembunuhan asrori ini. Bahwa sistem
peradilan yang seperti ini adalah sistem
peradilan yang sesat yang tidak mengedepankan hati nurani dan tidak menggunakan
kecerdasan spiritual. Dalam kasus yang dialami oleh Kemat dan David ini
mencerminkan kegagalan dalam mencapai tujuan hukum yang adil dan tidak
membahagiakan.
Para petindak hukum (hakim, jaksa dan polisi) yang
menangani kasus pembunuhan Moch. Asrori bertindak dan berpikir secara biasa saja.
mereka bertindak sesuai peraturan yang sudah ada, mereka mungkin saja tidak
berani untuk mematahkan peraturan-peraturan lama dan tidak berani membuat
paraturan-peraturan baru untuk mewujudkan tujuan hukum. Apakah mungkin hal ini
disebabkan adanya pengaruh paradigma
positivisme
yang telah menjalar dan bermetamorfosa menjadi psitivisme hukum.
Memang tidak mudah untuk mewujudkan
penegakkan hukum
yang dapat menghasilkan keadilan, hal ini perlu adanya kekuatan dan keberanian extra
untuk mendobrak sistem hukum positif
dan menegakkan sistem hukum secara progresif. kekuatan hukum progresif akan mencari berbagai cara
untuk mematahkan kekuatan konvensi-konvensi lama. Maka dengan demikian konvensi
dan sistem hukum yang ada bukan satu-satunya sebagai
patokan.
Semangat
kekuatan hukum progresif ini bertujuan untuk memberikan keadilan pada rakyat
dirasakan sangat kuat, ini menyebabkan adanya sikap kritis terhadap system
normative yang ada.
Menurut pendapat Prof. Satjipto
mengatakan bahwa menurut pandangan hukum progresif, hukum bukanlah produk akhir
melainkan hukum itu harus selalu di bangun dan harus selalu ada perubahan ke
arah yang lebih baik. Hukum merupakan lembaga yang bermoral kemanusiaan dan
bukanlah suatu mesin yang tidak mempunyai hati nurani. Maka akhir dari tulisan
ini berharap bahwa semoga hkum di Indonesia dapat menjadi lebih baik dan tegak,
selalu ada perubahan dan perbaikan dari masa ke
masa guna untuk kebaikan semua umat manusia di dunia.
[3]Satjipto Raharjo, Membedah hokum Progresif (Jakarta: PT.
Kompas Media Nusantara, 2008), 151.
[4]Bernard L. Tanya, Yoan N.
Simanjuntak dan MarkusY. Hage. “Teori
Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi”, ( Yogyakarta:
Genta Publishing, 2010), 212.
[6]Iskandar,
“Paradigma Hukum Progresif “, http://iskandarcentre.blogspot.com/2010/02/paradigma-hukum-progresif.html,
(diakses pada 28 oktober 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar