Kamis, 08 Maret 2012

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ditinjau Dari Aspek Ontology, Epistimologi, Aksiologi Dan Ideology Hukum)


A.     Pendahuluan
Bermacam persepsi dan istilah mengenai KDRT berkembang dalam masyarakat. Pada umumnya masyarakat berpendapat bahwa KDRT adalah urusan intern keluarga dan rumah tangga. Anggapan ini telah membudaya bertahun, berabad bahkan bermilenium lamanya, dikalangan masyarakat termasuk aparat penegak hukum. Jika seseorang (perempuan atau anak) disenggol di jalanan umum dan ia minta tolong, maka masyarakat termasuk aparat polisi akan segera menolong dia. Namun jika seseorang (perempuan dan anak) dipukuli sampai babak belur di dalam rumahnya, walau pun ia sudah berteriak minta tolong, orang segan menolong karena tidak mau mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Berbagai kasus akibat fatal dari kekerasan orangtua terhadap anaknya, suami terhadap istrinya, majikan terhadap pembantu rumahtangga, terkuak dalam surat kabar dan media masa. Masyarakat membantu dan aparat polisi bertindak setelah akibat kekerasan sudah fatal, korbannya sudah meninggal, atau pun cacat.[1]
Kita sudah tidak asing lagi mendengar kata kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dari tahun ke tahun tingkat kekerasan dalam rumah tangga cenderung meningkat, dengan berbagai bentuk modus kekerasan dan menimbulkan dampak yang cukup serius baik terhadap korban perempuan, laki-laki dan anak-anak. Sungguh memperihatinkan dampak yang ditimbulkan pada saat kejadian sampai pasca kejadian membawa beban pikis yang berkepanjangan. Tindakan kekerasan dapat terjadi kepada siapapun dan di mana pun, tetapi faktanya kebanyakan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan. Kekerasan terhadap perempuan sangat luas cakupannya. Kekerasan perempuan dapat berupa kekerasan secara fisik, psikologi dan seksual, yang tidak jarang terjadi tumpang tindih pada saat bersamaan.
Modus operandi kekerasan terhadap perempuan dengan pelaku mayoritas laki-laki sangat beragam bahkan sering terjadi viktimisasi ganda terhadap perempuan, baik di sector public maupun domestic. Mereka mengalami perkosaan atau kekerasan seksual bersamaan dengan tindakan perampokan dan kejahatan terhadap harta benda. Kekerasan menimpa perempuan tanpa pandang bulu anak-anak, remaja dan dewasa.[2]
Tindakan kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya dialami oleh perempuan, terkadang anak-anak pun ikut terkena sasaran kekerasan, entah tindakan itu dilakukan oleh keluarganya seperti: ayah, ibu dan orang lain terdekatnya. Rata-rata dari beberapa anak yang menjadi korban KDRT disebabkan karena orang tua mereka bermasalah seperti suami-istri yang selalu bertengkar dan pelampiasan dari itu di tujukan kepada anak.
            Factor  pemicu  lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini di karenakan terdapat banyaknya kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat. Dari banyaknya factor-faktor tersebut perluanya adanya tuntutan penghapusan kekerasan terhadap kaum yang lemah (korban) yaitu sebuah UU yang memihak kepada korban KDRT terutama anak dan perempuan yang mayoritasnya sebagai korban kekerasan. Dari latar belakang ini saya akan membahas mengenai apakah UU no. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini hanya melindungi perempuan dan mengkaji dari segi ontology, epistimologi, aksiologi dan epistimologi hukumnya.




B.     Rumusan Masalah
1.   Apakah UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini hanya melindungi perempuan?
2.   Bagaimana hakekat, asal-usul dan nilai hukum di dalam UU no. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) ditinjau dari filsafat hukum?

C.     Pembahasan
1.   Pengertian dan Ruang Lingkup tentang kekerasan dalam rumah tangga
Menurut UU No. 23 tahun 2004 pasal 1 penghapusan kekerasan dalam rumah tangga KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 Butir 1).[3]
Setelah UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dinyatakan sah dan berlaku pemerintah mensosialisaikan UU tersebut kepada masyarakat, tetapi hasil dari semua itu kurang maksimal dan berakibat banyak anggapan-anggapan yang lahir dari ketidakpahaman dalam UU tersebut. salah satu ketidakpahaman mereka adalah mereka menganggap bahwa UU tersebut hanya melindungi perempuan semata sehingga secara umum masyarakat memandang sikap tidak peduli terhadap UU tersebut. Namun jika kita secara cermat menelaah ketentuan-ketentuan UU tersebut, tentunya sikap tidak peduli ini sangat tidak beralasan.
Seperti yang sudah disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pasal 2 ayat 1 ini meliputi: suami, istri, dan anak orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Maka dari sini sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan korban dari UU ini yang harus dilindungi adalah anggota keluarga yang timbul dan lahir karena hubungan perkawinan (istri/suami/anak) atau orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga (hubungan darah/perkawinan/pengasuhan/perwalian) atau Anggota rumah tangga lainnya (yang menetap dalam rumah tangga/ yang bekerja dalam rumah tangga) atau anggota rumah tangga lainnya seperti pembantu pengertian “rumah tangga” dalam UU aquo cakupannya sangat luas sehingga tentu saja tidak hanya untuk melindungi perempuan/ istri tetapi juga anggota keluarga lainnya bahka mereka yang tidak memiliki pertalian darah tetapi telah lama hidup bersama keluarga atau bekerja dalam rumah tangga tersebut dan tak terkecuali suami. Sebab, fakta dilapangan menunjukan bahwa suami, anak, atau pembantu rumah tangga juga bisa mengalami kekerasan dalam rumah tangga.[4] Jadi apabila seorang laki-laki (suami) teraniaya oleh istrinya (korban kekerasan) maka dia dapat dilindungi hak-haknya oleh UU tersebut apabuladia  melapor ke pihak berwajib.
Ketidakpahaman lain yang muncul dalam memandang UU ini adalah bahwa mereka beranggapan kekerasan hanya berupa pada kekeraan fisik saja, tetapi dalam UU ini tepatnya pada pasal 5 yang dimaksud dengan bentuk kekerasan adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran rumah tangga (ekonomi).
 Beberapa bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah: 1.)  Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian. 2.) Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain,kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri. 3.) Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri. 4.) Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.[5]
Adapun dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pasal 10 Negara menjamin perlindungan hak-hak terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga,  Korban berhak mendapatkan:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani.

2.   UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tanggadari segi aspek ontology, epistimologi, aksiologi dan ideology.
a.    Dari Aspek Ontology hukum
Ontologi menurut kamus ilmiah adalah cabang metafisika yang membicarakan watak realitas tertinggi atau wujud.[6] Ontologi menurut filsafat hukum adalah hakikat hukum. Hakikat disini yaitu suatu kebenaran atau keadaan yang sesungguhnya. Maka disini saya akan mencoba membahas apa itu hakikat adanya UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Berbicara tentang UU pengahapusan kekerasan dalam rumah tangga tidak lepas dari istilah gender dan kekerasan, Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan, sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Berbeda dengan jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan serta tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya.[7]
Perlu ditegaskan kembali bahwa Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Jadi sangat ironis apabila Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin.
Masyarakat berpahaman bahwa perempuan disosialisasi dan diasuh secara berbeda dengan laki-laki. Ini juga menunjukkan adanya social expectation (ekspektasi social) yang berbeda  terhadap anak perempuan dengan laki-laki. Sejak dini anak perempuan disosialisasi bertindak lembut, tidak agresif, halus, tergantung, pasif dan bukan pengambil keputusan, sebaliknya laki-laki disosialisasi agresif, aktif, mandiri, pengambil keputusan, dan dominan. Control social kepada perempuan lebih ketat dibandingakan laki-laki.[8]
Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.
Faktanya dalam kehidupan sehari-hari tindak kekerasan yang khas ditujukan pada perempuan dan membawa dampak serius misalnya kekerasan seksual, perkosaan yang semuanya kebanyakan perempuan. Kekerasan dalam hal ini diartikan sebagai kekerasan yang berbasis gender. Konsep tersebut merujuk pada subordinat perempuan dengan istilah lain, terdapat ketimpangan kekeuasaan antara  laki-laki dan perempuan.
Fenomena social seperti kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini ditabukan diharapkan akan segera membawa perubahan dengan hadirnya UU pengapusan kekerasan dalam rumah tangga No. 23 tahun 2004. Undang-undang ini di harapkan mengubah pemikiran lama masyarakat bahwa kekerasan rumah tangga adalah urusan pribadi atau hal yang tabu yang tidak etis untuk di angkat dalam kasus peradilan.
Pada Hakikatnya Hak dan kewajiban setiap warga negara adalah sama. Hal ini secara tegas diungkapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa kecuali”. Pasal ini sekaligus menjustifikasi bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Perempuan adalah mitra sejajar bagi laki-laki, mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam setiap lapangan kehidupan termasuk dalam rumah tangga[9].
Semua individu berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. UU Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang  dimaksudkan untuk dapat menyelesaikan, meminimalisasi, menindak pelaku kekerasan, bahkan merehabilitasi korban yang mengalami kekerasan rumah tangga
Untuk menghilangkan atau meminimalis tindak pidana KDRT. Dari fakta yang terjadi di lapangan, pihak yang sering menjadi korban dalam persoalan KDRT berjenis kelamin perempuan dan anak-anak. Jumlah korban KDRT mengalami peningkatan dari hari ke hari. Namun ironisnya penegakan hukum untuk pencapaian keadilan bagi korban juga menunjukan angka yang berbanding terbalik dengan jumlah angka korban tersebut.
Selain itu UU penghapusan KDRT juga bertujuan menjaga keutuhan rumah tangga, dimana keutuhan rumah tangga dapat terjadi jika setiap anggota keluarga menyadari hak dan kewajibannya masing-masing atau tidak ada satu anggota keluarga yang bisa melakukan kesewenang-wenangan. Keutuhan yang dimaksudkan disini artinya posisi yang sama antara sesama anggota keluarga, posisi yang seimbang antara istri dengan suami dan anak dengan orang tua dan tidak ada satu pihak yang merasa tersubordinat dengan pihak yang lain.
Tidak dapat dibayangkan jika Indonesia tidak memiliki UU penghapusan KDRT, mungkin akan semakin banyak orang terluka atau bahkan meninggal karena dianiaya dalam keluarganya dan akhirnya melahirkan generasi-generasi bangsa yang tidak sehat.  UU penghapusan KDRT mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga dan bangsa yang sehat. Keberadaan UU ini merupakan bentuk antisipasi yang sebenarnya agar masyarakat mengetahui bahwa negara tidak menginginkan, tidak menyetujui dan  menghukum orang yang melakukan kekerasan (kekerasan dalam rumah tangga).
b.    Dari Aspek Epistimologi Hukum
Menurut kamus ilmiah epistimologi adalah cabang dari filsafat yang menyelidiki sumber-sumber serta kebenaran pengetahuan,[10] epistimologi di dalam filsafat hukum dapat di artikan sebagai asal-usul hukum atau asal mula mendapatkan atau membuat hukum. Dari aspek epistimologi ini apabila dihubungkan dengan asal-usul dibuatnya UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga berbicara tentang factor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan  tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
Beberapa penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah budaya patriarki yang masih kuat sehingga laki-laki dianggap paling dominan, baik di dalam keluarga maupun lingkungan sekitar, himpitan ekonomi keluarga, himpitan masalah kota besar yang mendorong stress, kondisi lingkungan dan pekerjaan yang berat mendorong tingginya temperamental orang. Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah social, tidak ada kesetaraan posisi di dalam masyarakat antara Laki-laki dan perempuan. Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Dari factor-faktor tersebutlah banyak tindakan kekerasan itu terjadi dan yang paling sering terkena kekerasan adalah perempuan dan anak.
Untuk itu hal ini mengajak setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat; dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Perempuan dan anak sebagai korban utama dalam kekerasan dalam rumah tangga, dalam hal ini mutlak memerlukan perlindungan hukum. Lahirnya UU ini berawal dari inisiatif lembaga bantuan hukum (LBH) bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menyiapkan RUU anti KDRT. RUU anti KDRT ini telah disiapkan sejak tahun 1998 melalui dialog publik.[11]
Maka dapat diambil garis besar bahwa munculnya atau asal usul dibuatnya UU ini karena banyak kasus-kasus kekerasan khususnya kekerasan dalam rumah tangga. Maka dari itu pemerintah menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dengan adanya UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Dengan harapan memberi pencerahan kepada para korban KDRT untuk menuntut pelaku dan mendapatkan keadilan melalui UU. No.23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga hal ini merupakan terobosan yang memberikan kesempatan untuk menyelesaikan kasus yang selama ini dianggap tabu.
c.   Dari Aspek Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.[12] Menurut filsafat hukum aksiologi adalah pengetahuan yang membahas tentang nilai-nilai di dalam hukum.
Kajian tentang askiologi hukum dalam UU No.23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah ingin mengangkat derajat dan martabat kemanusiaan entah dari segi jenis kelamin, umur, agama, ras dan budaya.
Mayoritas korban dari tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan. Karena struktur social yang jelas meletakkan perempuan di bawah laki-laki sangat memungkinkan dan mendorong tindakan kekerasan. Mitos-mitos tentang perempuan yang hidup dalam masyarakat seperti perempuan adalah objek seks, perempuan haruslah suci, tidak boleh ternoda atau apabila perempuan tidak dapat di golongkan ke dalam golongan tersebut maka perempuan dikategorikan seperti perempuan penggoda, pelacur yang kotor.
Dalam hal ini mendefinisikan bahwa status sosial perempuan sangat rendah dari pada laki-laki. Sementara mitos tersebut menyatakan bahwa laki-lakilah yang utama meskipun laki-laki tidak dapat mengendalikan dorongan biologisnya menjadi suatu kebenaran apabila mereka melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.  Tidak jarang perempuan kemudian mengadopsi pandangan-pandangan yang merendahkan, membuat upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga jadi makin sulit.
Kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuknya tidak dapat dilepaskan, bahkan terus berlangsung karena mitos-mitos dan nilai-nilai masyarakat yang merendahkan perempuan.[13] Sebagai contoh perempuan yang diperkosa oleh orang yang dikenal akan merasa dihianati dan cenderung memandang rendah integrasi dan kepercayaan hubungan antara perempuan dan laki-laki.[14]
Tinjauan sosiologis kriminologis memandang bahwa suatu tindakan dinyatakan menyimpang tergantung dari reaksi social, baik buruknya suatu perilaku ditentukan oleh nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.[15] Terhadap fenomena kekerasan dalam rumah tangga msyarakat justru sering menyudutkan posisi korban bahkan mempermasalahkannya.
UU tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga di tinjau Dari aspek aksiologi hukum ingin membangun dan penyadaran akan pentingnya penghargaan akan harkat dan martabat kemanusiaan adalah kunci menuju sikap dan perilaku penghentian kekerasan berbasis gender, guna menciptakan dan pencapaian kedamaian dan harmoni social.
d.  Dari Aspek Ideologi
Menurut kamus ilmiah ideology adalah suatu pengetahuan yang dipakai untuk menunjukkan kelompok ide-ide yang teratur menangani bermacam-macam masalah politik, ekonimi dan social, ideology jugadapat dikatakan sebagai asas haluan dan pandangan hidup dunia.[16] Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Tujuan untama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Sedangkan menurut filsafat hukum, ideology hukum adalah suatu gagasan atau landasan dasar hukum seperti ideology komunis, ideology pancasila dan sebagainya.
Berbicara mengenai UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tentu saja tidak lepas dari ideology UU tersebut, seperti yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya di atas bahwa masyarakat masih berasumsi kekerasan dalam rumah tangga adalah masalh privasi keluarga yang tidak dapat diexplor kepublik karena hal ini menyangkut aib keluarga dan suatu urusan pribadi keluarga. latar belakang terjadinya KDRT ini akibat pengaruh sosial budaya dalam masyarakat yang menempatkan perempuan dan anak berada dalam kondisi yang marginal, dan ketidak berdayaan. Hal ini menyebabkan mereka rentan terhadap hal tersebut termasuk kekerasan.
Lahirnya UU No. 23 tahun 2004 ini tidak lepas dari ideology dari ideology pancasila pada sila kedua yang menyebutkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Sila ini mengamanatkan adanya persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesame manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi HAM PBB yang melarang adanya diskriminasi. Dalam UU ini menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
            Dasar ideology UU ini juga tidak telepas dari ideology feminis, Feminis adalah satu ideologi yang ingin memperjuangkan hak-hak perempuan dan kelompok marginal lainnya. Biasanya aktivis perempuan akan disebut seorang feminis. Tapi sekarang ada juga feminis laki-laki yaitu laki-laki yang bekerja untuk hak-hak perempuan.
Feminisme memiliki berbagai definisi yang jamak, setiap para feminist memiliki mindset makna yang berbeda-beda tetapi tujuan sama yaitu perjuangan terhadap kesetaraan gender. Feminism itu sendiri terus menerus berkembang dan mengalami berbagai fase. Ilmu yang menarik dari ideology ini adalah perempuan sebagai titik tolak pengamatan suatu masalah tersebut.[17]
Feminisme radikal aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat kekuasaan pria dalam sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan yang patriarkis. Maka dari itu, feminisme radikal lebih memperjuangkan permasalah tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seks, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “Tubuhku adalah Milikku”, itulah isu yang diwacanakan oleh para feminis radikal. Dari sini lah dapat dikatakan bahwa UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga  terbentuk karena perjuangan feminism radikal.

D.     Penutup
Dari pembahasan di atas maka dapat di simpulkan bahwa tindakan kekerasan khususnya kekerasan dalam rumah tangga ini adalah suatu perbuatan yang tidak berprikemanusian yang dapat menimbulkan suatu penderitaan kepada pihak yang lemah. Tindakan ini bertentangan dengan Pancasila, HAM dan UUD’45.
Masyarakat Indonesia yang mengalami tindakan kekerasan dalam rumah tangga sekarang sudah ada jaminan perlindungan dari Negara yaitu berupa UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. UU ini lahir dari masalah-masalah atau kasus-kasus yang umumnya terjadi di dalam masyarakat yang berupa kekerasan dalam rumah tangga baik dari sector public maupun domestic. Lahirnya UU ini merupakan bukti nyata Negara bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap harkat martabat manusia.
UU ini bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Dan di tinjau Dari nilai hokum UU ini ingin membangun dan penyadaran akan pentingnya penghargaan akan harkat dan martabat kemanusiaan. Inilah kunci menuju sikap dan perilaku penghentian kekerasan berbasis gender, guna menciptakan dan pencapaian kedamaian dan harmoni social. Ideology yang mendasari UU ini adalah berlandaskan pada Ideologi pancasila dan ideology pancasila.


[1]Louise Gandhi, Pengertian KDRT Menurut Undang-Undang “http://perimakgpm.wordpress.com”.(diakses pada 05 november 2010).
[2]Romany Sihite, “Perempuan, Kesataraan Dan Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 232.
[3] UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
[5]KDRT “http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf”, (Diakses Pada 05 November 2010).
[6]Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, “Kamus Ilmiah Populer”, Surabaya: Arkola, 1994), 542.
[7]Ahmad Heryawan, Hakikat Kesetaraan Dan Keadilan Gender, “http://www.ahmadheryawan.com/”, (diakses pada 05 november 2010)
[8]Romany sihite, Op, Cit., 230.
[9]Arif Hamzah, Tinjauan Sosial Dan Hukum Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga, “http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=12”, (diakses pada 05 november 2010).

[10]Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry. Op, Cit.,157.
[11]MaPPI FHUI, Kekerasan Dalam Rumah Tangga http://www.pemantauperadilan.com/index.php?option=com_frontpage&Itemid=1 (diakses pada 05 November 2010)
[12] Hendra Pakpahan, Aksiologi “http://dinulislami.blogspot.com”. (diakses pada 05 November 2010).
[13]Ihromi, Tapi omas sulistyowati irianto dan achie sudiarti luhulima “Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita”, (Bandung: Penerbit  Alumni. 2000), 284.
[14]Romany Sihite,Op, Cit., 236.
[15]Ibied, 238.
[16] Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry. Op, Cit., 239.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar