A. Pendahuluan
Bermacam persepsi dan istilah mengenai
KDRT berkembang dalam masyarakat. Pada umumnya masyarakat berpendapat bahwa
KDRT adalah urusan intern keluarga dan rumah tangga. Anggapan ini telah
membudaya bertahun, berabad bahkan bermilenium lamanya, dikalangan masyarakat
termasuk aparat penegak hukum. Jika seseorang (perempuan atau anak) disenggol
di jalanan umum dan ia minta tolong, maka masyarakat termasuk aparat polisi
akan segera menolong dia. Namun jika seseorang (perempuan dan anak) dipukuli
sampai babak belur di dalam rumahnya, walau pun ia sudah berteriak minta
tolong, orang segan menolong karena tidak mau mencampuri urusan rumah tangga
orang lain. Berbagai kasus akibat fatal dari kekerasan orangtua terhadap
anaknya, suami terhadap istrinya, majikan terhadap pembantu rumahtangga,
terkuak dalam surat kabar dan media masa. Masyarakat membantu dan aparat polisi
bertindak setelah akibat kekerasan sudah fatal, korbannya sudah meninggal, atau
pun cacat.[1]
Kita sudah tidak asing lagi mendengar
kata kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dari tahun ke tahun tingkat kekerasan
dalam rumah tangga cenderung meningkat, dengan berbagai bentuk modus kekerasan
dan menimbulkan dampak yang cukup serius baik terhadap korban perempuan,
laki-laki dan anak-anak. Sungguh memperihatinkan dampak yang ditimbulkan pada
saat kejadian sampai pasca kejadian membawa beban pikis yang berkepanjangan.
Tindakan kekerasan dapat terjadi kepada siapapun dan di mana pun, tetapi
faktanya kebanyakan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga adalah
perempuan. Kekerasan terhadap perempuan sangat luas cakupannya. Kekerasan
perempuan dapat berupa kekerasan secara fisik, psikologi dan seksual, yang
tidak jarang terjadi tumpang tindih pada saat bersamaan.
Modus operandi kekerasan terhadap
perempuan dengan pelaku mayoritas laki-laki sangat beragam bahkan sering
terjadi viktimisasi ganda terhadap perempuan, baik di sector public maupun
domestic. Mereka mengalami perkosaan atau kekerasan seksual bersamaan dengan tindakan
perampokan dan kejahatan terhadap harta benda. Kekerasan menimpa perempuan
tanpa pandang bulu anak-anak, remaja dan dewasa.[2]
Tindakan kekerasan dalam rumah tangga
tidak hanya dialami oleh perempuan, terkadang anak-anak pun ikut terkena
sasaran kekerasan, entah tindakan itu dilakukan oleh keluarganya seperti: ayah,
ibu dan orang lain terdekatnya. Rata-rata dari beberapa anak yang menjadi
korban KDRT disebabkan karena orang tua mereka bermasalah seperti suami-istri
yang selalu bertengkar dan pelampiasan dari itu di tujukan kepada anak.
Factor pemicu
lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga ini di karenakan terdapat banyaknya kasus-kasus yang terjadi dalam
masyarakat. Dari banyaknya factor-faktor tersebut perluanya adanya tuntutan
penghapusan kekerasan terhadap kaum yang lemah (korban) yaitu sebuah UU yang
memihak kepada korban KDRT terutama anak dan perempuan yang mayoritasnya
sebagai korban kekerasan. Dari latar belakang ini saya akan membahas mengenai
apakah UU no. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
ini hanya melindungi perempuan dan mengkaji dari segi ontology, epistimologi,
aksiologi dan epistimologi hukumnya.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah
UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini hanya
melindungi perempuan?
2.
Bagaimana
hakekat, asal-usul dan nilai hukum di dalam UU no. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) ditinjau dari filsafat hukum?
C. Pembahasan
1. Pengertian
dan Ruang Lingkup tentang kekerasan dalam rumah tangga
Menurut UU No. 23 tahun 2004 pasal 1 penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 Butir 1).[3]
Setelah UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga dinyatakan sah dan berlaku pemerintah
mensosialisaikan UU tersebut kepada masyarakat, tetapi hasil dari semua itu
kurang maksimal dan berakibat banyak anggapan-anggapan yang lahir dari
ketidakpahaman dalam UU tersebut. salah satu ketidakpahaman mereka adalah
mereka menganggap bahwa UU tersebut hanya melindungi perempuan semata sehingga secara
umum masyarakat memandang sikap tidak peduli terhadap UU tersebut. Namun jika
kita secara cermat menelaah ketentuan-ketentuan UU tersebut, tentunya sikap
tidak peduli ini sangat tidak beralasan.
Seperti yang sudah disebutkan dalam
pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam UU No. 23 tahun
2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pasal 2 ayat 1 ini
meliputi: suami, istri, dan anak orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga
dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah
tangga; dan atau. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
Maka dari sini sudah jelas bahwa yang
dimaksud dengan korban dari UU ini yang harus dilindungi adalah anggota
keluarga yang timbul dan lahir karena hubungan perkawinan (istri/suami/anak)
atau orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga (hubungan
darah/perkawinan/pengasuhan/perwalian) atau Anggota rumah tangga lainnya (yang
menetap dalam rumah tangga/ yang bekerja dalam rumah tangga) atau anggota rumah
tangga lainnya seperti pembantu pengertian “rumah tangga” dalam UU aquo
cakupannya sangat luas sehingga tentu saja tidak hanya untuk melindungi
perempuan/ istri tetapi juga anggota keluarga lainnya bahka mereka yang tidak
memiliki pertalian darah tetapi telah lama hidup bersama keluarga atau bekerja
dalam rumah tangga tersebut dan tak terkecuali suami. Sebab, fakta dilapangan
menunjukan bahwa suami, anak, atau pembantu rumah tangga juga bisa mengalami
kekerasan dalam rumah tangga.[4] Jadi apabila seorang laki-laki
(suami) teraniaya oleh istrinya (korban kekerasan) maka dia dapat dilindungi
hak-haknya oleh UU tersebut apabuladia
melapor ke pihak berwajib.
Ketidakpahaman
lain yang muncul dalam memandang UU ini adalah bahwa mereka beranggapan
kekerasan hanya berupa pada kekeraan fisik saja, tetapi dalam UU ini tepatnya
pada pasal 5 yang dimaksud dengan bentuk kekerasan adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis,
kekerasan seksual, penelantaran rumah tangga (ekonomi).
Beberapa bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah
tangga adalah: 1.) Kekerasan fisik adalah suatu tindakan
kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada
tubuh istri hingga menyebabkan
kematian. 2.) Kekerasan
psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina
berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya
kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat
mengakibatkan istri semakin tergantung
pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain,kekerasan
psikis juga dapat memicu dendam dihati istri. 3.) Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan
memaksa istri untuk melakukan
hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual
istri. 4.) Kekerasan ekonomi
adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk
menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak
memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami
menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang
belanja sama sekali, menuntut
istri memperoleh penghasilan lebih banyak,
dan tidak mengijinkan istri untuk
meningkatkan karirnya.[5]
Adapun dalam UU No. 23 tahun 2004
tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pasal 10 Negara menjamin
perlindungan hak-hak terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, Korban berhak mendapatkan:
a. Perlindungan dari pihak keluarga,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya
baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan
dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial
dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani.
2. UU
No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tanggadari segi
aspek ontology, epistimologi, aksiologi dan ideology.
a. Dari
Aspek Ontology hukum
Ontologi menurut kamus ilmiah adalah
cabang metafisika yang membicarakan watak realitas tertinggi atau wujud.[6] Ontologi menurut filsafat hukum
adalah hakikat hukum. Hakikat disini yaitu suatu kebenaran atau keadaan yang
sesungguhnya. Maka disini saya akan mencoba membahas apa itu hakikat adanya UU penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga.
Berbicara tentang UU pengahapusan
kekerasan dalam rumah tangga tidak lepas dari istilah gender dan kekerasan,
Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh
masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan, sehingga gender belum
tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
Berbeda dengan jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang
telah ditentukan oleh Tuhan serta tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan
ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya.[7]
Perlu ditegaskan kembali bahwa Gender
bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan
dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan
dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan
budaya ditempat mereka berada. Jadi sangat ironis apabila Gender masih diartikan
oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin.
Masyarakat berpahaman bahwa perempuan disosialisasi
dan diasuh secara berbeda dengan laki-laki. Ini juga menunjukkan adanya social expectation (ekspektasi social)
yang berbeda terhadap anak perempuan
dengan laki-laki. Sejak dini anak perempuan disosialisasi bertindak lembut,
tidak agresif, halus, tergantung, pasif dan bukan pengambil keputusan,
sebaliknya laki-laki disosialisasi agresif, aktif, mandiri, pengambil
keputusan, dan dominan. Control social kepada perempuan lebih ketat
dibandingakan laki-laki.[8]
Masyarakat belum memahami bahwa gender
adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial
antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan
peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki
dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan
kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.
Faktanya dalam kehidupan sehari-hari
tindak kekerasan yang khas ditujukan pada perempuan dan membawa dampak serius
misalnya kekerasan seksual, perkosaan yang semuanya kebanyakan perempuan.
Kekerasan dalam hal ini diartikan sebagai kekerasan yang berbasis gender.
Konsep tersebut merujuk pada subordinat perempuan dengan istilah lain, terdapat
ketimpangan kekeuasaan antara laki-laki
dan perempuan.
Fenomena social seperti kekerasan
dalam rumah tangga yang selama ini ditabukan diharapkan akan segera membawa
perubahan dengan hadirnya UU pengapusan kekerasan dalam rumah tangga No. 23
tahun 2004. Undang-undang ini di harapkan mengubah pemikiran lama masyarakat
bahwa kekerasan rumah tangga adalah urusan pribadi atau hal yang tabu yang
tidak etis untuk di angkat dalam kasus peradilan.
Pada Hakikatnya Hak dan kewajiban
setiap warga negara adalah sama. Hal ini secara tegas diungkapkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan
itu tanpa kecuali”. Pasal ini sekaligus menjustifikasi bahwa antara laki-laki
dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Perempuan adalah
mitra sejajar bagi laki-laki, mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang
sama dengan laki-laki dalam setiap lapangan kehidupan termasuk dalam rumah
tangga[9].
Semua individu berhak mendapatkan rasa
aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Terutama kekerasan dalam rumah
tangga, merupakan pelanggaran hak asasi
manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. UU Penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan
dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan memelihara keutuhan rumah tangga yang
harmonis dan sejahtera. undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang
dimaksudkan untuk dapat menyelesaikan, meminimalisasi, menindak pelaku
kekerasan, bahkan merehabilitasi korban yang mengalami kekerasan rumah tangga
Untuk menghilangkan atau meminimalis
tindak pidana KDRT. Dari fakta yang terjadi di lapangan, pihak yang sering
menjadi korban dalam persoalan KDRT berjenis kelamin perempuan dan anak-anak.
Jumlah korban KDRT mengalami peningkatan dari hari ke hari. Namun ironisnya
penegakan hukum untuk pencapaian keadilan bagi korban juga menunjukan angka
yang berbanding terbalik dengan jumlah angka korban tersebut.
Selain itu UU penghapusan KDRT juga
bertujuan menjaga keutuhan rumah tangga, dimana keutuhan rumah tangga dapat
terjadi jika setiap anggota keluarga menyadari hak dan kewajibannya
masing-masing atau tidak ada satu anggota keluarga yang bisa melakukan
kesewenang-wenangan. Keutuhan yang dimaksudkan disini artinya posisi yang sama
antara sesama anggota keluarga, posisi yang seimbang antara istri dengan suami
dan anak dengan orang tua dan tidak ada satu pihak yang merasa tersubordinat
dengan pihak yang lain.
Tidak dapat dibayangkan jika Indonesia
tidak memiliki UU penghapusan KDRT, mungkin akan semakin banyak orang terluka
atau bahkan meninggal karena dianiaya dalam keluarganya dan akhirnya melahirkan
generasi-generasi bangsa yang tidak sehat. UU penghapusan KDRT mempunyai
tujuan untuk membentuk keluarga dan bangsa yang sehat. Keberadaan UU ini
merupakan bentuk antisipasi yang sebenarnya agar masyarakat mengetahui bahwa
negara tidak menginginkan, tidak menyetujui dan menghukum orang yang
melakukan kekerasan (kekerasan dalam rumah tangga).
b. Dari
Aspek Epistimologi Hukum
Menurut kamus ilmiah epistimologi
adalah cabang dari filsafat yang menyelidiki sumber-sumber serta kebenaran
pengetahuan,[10] epistimologi di dalam filsafat hukum
dapat di artikan sebagai asal-usul hukum atau asal mula mendapatkan atau
membuat hukum. Dari aspek epistimologi ini apabila dihubungkan dengan asal-usul
dibuatnya UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga berbicara tentang
factor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
Beberapa penyebab terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga adalah budaya patriarki yang masih kuat sehingga laki-laki
dianggap paling dominan, baik di dalam keluarga maupun lingkungan sekitar,
himpitan ekonomi keluarga, himpitan masalah kota besar yang mendorong stress,
kondisi lingkungan dan pekerjaan yang berat mendorong tingginya temperamental
orang. Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus
ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah social, tidak ada
kesetaraan posisi di dalam masyarakat antara Laki-laki dan perempuan. Masih
rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri
yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, Faktor
Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang
lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh
lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Dari factor-faktor tersebutlah
banyak tindakan kekerasan itu terjadi dan yang paling sering terkena kekerasan
adalah perempuan dan anak.
Untuk itu hal ini mengajak setiap
orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk
mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban,
memberikan pertolongan darurat; dan membantu proses pengajuan permohonan
penetapan perlindungan.
Perempuan dan anak sebagai korban
utama dalam kekerasan dalam rumah tangga, dalam hal ini mutlak memerlukan
perlindungan hukum. Lahirnya UU ini berawal dari inisiatif lembaga bantuan
hukum (LBH) bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menyiapkan
RUU anti KDRT. RUU anti KDRT ini telah disiapkan sejak tahun 1998 melalui
dialog publik.[11]
Maka dapat diambil garis besar bahwa munculnya atau
asal usul dibuatnya UU ini karena banyak kasus-kasus kekerasan khususnya
kekerasan dalam rumah tangga. Maka dari itu pemerintah menjamin perlindungan terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga dengan adanya UU penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga. Dengan harapan memberi pencerahan kepada para korban KDRT untuk
menuntut pelaku dan mendapatkan keadilan melalui UU. No.23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga hal ini merupakan terobosan yang memberikan
kesempatan untuk menyelesaikan kasus yang selama ini dianggap tabu.
c. Dari
Aspek Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios
artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori
tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau
teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut
Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia
(1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian
tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah
nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar
normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Jadi Aksiologi
adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good
and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan
(means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk
perilaku etis.[12] Menurut
filsafat hukum aksiologi adalah pengetahuan yang membahas tentang nilai-nilai
di dalam hukum.
Kajian tentang askiologi hukum dalam UU No.23 tahun 2004
tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah ingin mengangkat derajat dan martabat
kemanusiaan entah dari segi jenis kelamin, umur, agama, ras dan budaya.
Mayoritas
korban dari tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan. Karena
struktur social yang jelas meletakkan perempuan di bawah laki-laki sangat
memungkinkan dan mendorong tindakan kekerasan. Mitos-mitos tentang perempuan
yang hidup dalam masyarakat seperti perempuan adalah objek seks, perempuan
haruslah suci, tidak boleh ternoda atau apabila perempuan tidak dapat di
golongkan ke dalam golongan tersebut maka perempuan dikategorikan seperti
perempuan penggoda, pelacur yang kotor.
Dalam
hal ini mendefinisikan bahwa status sosial perempuan sangat rendah dari pada
laki-laki. Sementara mitos tersebut menyatakan bahwa laki-lakilah yang utama
meskipun laki-laki tidak dapat mengendalikan dorongan biologisnya menjadi suatu
kebenaran apabila mereka melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Tidak jarang perempuan kemudian mengadopsi
pandangan-pandangan yang merendahkan, membuat upaya penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga jadi makin sulit.
Kekerasan
terhadap perempuan dalam berbagai bentuknya tidak dapat dilepaskan, bahkan
terus berlangsung karena mitos-mitos dan nilai-nilai masyarakat yang
merendahkan perempuan.[13] Sebagai contoh perempuan yang
diperkosa oleh orang yang dikenal akan merasa dihianati dan cenderung memandang
rendah integrasi dan kepercayaan hubungan antara perempuan dan laki-laki.[14]
Tinjauan
sosiologis kriminologis memandang bahwa suatu tindakan dinyatakan menyimpang
tergantung dari reaksi social, baik buruknya suatu perilaku ditentukan oleh
nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.[15] Terhadap fenomena kekerasan dalam
rumah tangga msyarakat justru sering menyudutkan posisi korban bahkan
mempermasalahkannya.
UU
tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga di tinjau Dari aspek aksiologi
hukum ingin membangun dan penyadaran akan pentingnya penghargaan akan harkat
dan martabat kemanusiaan adalah kunci menuju sikap dan perilaku penghentian
kekerasan berbasis gender, guna menciptakan dan pencapaian kedamaian dan
harmoni social.
d. Dari
Aspek Ideologi
Menurut kamus ilmiah ideology adalah suatu
pengetahuan yang dipakai untuk menunjukkan kelompok ide-ide yang teratur
menangani bermacam-macam masalah politik, ekonimi dan social, ideology
jugadapat dikatakan sebagai asas haluan dan pandangan hidup dunia.[16] Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Tujuan untama dibalik
ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif.
Sedangkan menurut filsafat hukum, ideology hukum adalah suatu gagasan atau landasan
dasar hukum seperti ideology komunis, ideology pancasila dan sebagainya.
Berbicara mengenai UU No. 23 Tahun
2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tentu saja tidak lepas
dari ideology UU tersebut, seperti yang sudah dijelaskan pada pembahasan
sebelumnya di atas bahwa masyarakat masih berasumsi kekerasan dalam rumah
tangga adalah masalh privasi keluarga yang tidak dapat diexplor kepublik karena
hal ini menyangkut aib keluarga dan suatu urusan pribadi keluarga. latar
belakang terjadinya KDRT ini akibat pengaruh sosial budaya dalam masyarakat
yang menempatkan perempuan dan anak berada dalam kondisi yang marginal, dan
ketidak berdayaan. Hal ini menyebabkan mereka rentan terhadap hal tersebut
termasuk kekerasan.
Lahirnya UU No. 23 tahun 2004 ini
tidak lepas dari ideology dari ideology pancasila pada sila kedua yang
menyebutkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Sila
ini mengamanatkan adanya persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan
kewajiban antara sesame manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi HAM PBB yang melarang
adanya diskriminasi. Dalam UU ini menyebutkan bahwa setiap warga negara
berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai
dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Dasar ideology UU ini juga tidak
telepas dari ideology feminis, Feminis adalah satu ideologi yang ingin
memperjuangkan hak-hak perempuan dan kelompok marginal lainnya. Biasanya
aktivis perempuan akan disebut seorang feminis. Tapi sekarang ada juga feminis
laki-laki yaitu laki-laki yang bekerja untuk hak-hak perempuan.
Feminisme
memiliki berbagai definisi yang jamak, setiap para feminist memiliki mindset
makna yang berbeda-beda tetapi tujuan sama yaitu perjuangan terhadap kesetaraan
gender. Feminism itu sendiri terus menerus berkembang dan mengalami berbagai
fase. Ilmu yang menarik dari ideology ini adalah perempuan sebagai titik tolak
pengamatan suatu masalah tersebut.[17]
Feminisme
radikal aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan
terjadi akibat kekuasaan pria dalam sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan
objek utama penindasan yang patriarkis. Maka dari itu, feminisme radikal lebih
memperjuangkan permasalah tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk
lesbianisme), seks, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi
privat-publik. “Tubuhku adalah Milikku”, itulah isu yang diwacanakan oleh para
feminis radikal. Dari sini lah dapat dikatakan bahwa UU No. 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga terbentuk karena perjuangan feminism radikal.
D. Penutup
Dari pembahasan di atas maka dapat di simpulkan bahwa tindakan
kekerasan khususnya kekerasan dalam rumah tangga ini adalah suatu perbuatan
yang tidak berprikemanusian yang dapat menimbulkan suatu penderitaan kepada
pihak yang lemah. Tindakan ini bertentangan dengan Pancasila, HAM dan UUD’45.
Masyarakat Indonesia yang mengalami tindakan kekerasan
dalam rumah tangga sekarang sudah ada jaminan perlindungan dari Negara yaitu
berupa UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
UU ini lahir dari masalah-masalah atau kasus-kasus yang umumnya terjadi di
dalam masyarakat yang berupa kekerasan dalam rumah tangga baik dari sector
public maupun domestic. Lahirnya UU ini merupakan bukti nyata Negara bahwa
kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap harkat martabat manusia.
UU ini
bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi
korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga, dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Dan
di tinjau Dari nilai hokum UU ini ingin membangun dan penyadaran akan
pentingnya penghargaan akan harkat dan martabat kemanusiaan. Inilah kunci
menuju sikap dan perilaku penghentian kekerasan berbasis gender, guna
menciptakan dan pencapaian kedamaian dan harmoni social. Ideology yang
mendasari UU ini adalah berlandaskan pada Ideologi pancasila dan ideology
pancasila.
[1]Louise
Gandhi, Pengertian KDRT
Menurut Undang-Undang “http://perimakgpm.wordpress.com”.(diakses pada 05
november 2010).
[2]Romany Sihite, “Perempuan, Kesataraan Dan Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender”, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 232.
[4]Ekli Setya Pratiwi, UU KDRT Tidak Hanya Melindungi Perempuan “http://legal.daily-thought.info/2007/03/uu-kdrt-tidak-hanya-melindungi-perempuan/”,
(diakses pada 05 november 2010)
[5]KDRT
“http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf”, (Diakses Pada 05 November 2010).
[7]Ahmad Heryawan,
Hakikat Kesetaraan Dan Keadilan Gender, “http://www.ahmadheryawan.com/”,
(diakses pada 05 november 2010)
[9]Arif Hamzah, Tinjauan Sosial Dan Hukum Terhadap Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, “http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=12”,
(diakses
pada 05 november 2010).
[11]MaPPI FHUI, Kekerasan Dalam Rumah Tangga http://www.pemantauperadilan.com/index.php?option=com_frontpage&Itemid=1
(diakses pada 05 November 2010)
[13]Ihromi, Tapi omas
sulistyowati irianto dan achie sudiarti luhulima “Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita”, (Bandung: Penerbit Alumni. 2000), 284.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar