Semburan Lumpur Lapindo Di Daerah Porong
Dilihat Dari Aspek Hukum Pidana
Menurut UU No.
32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada pasal
1 ayat 14 pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi
dan/atau komponen lain dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manuia sehingga
melampui buku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan dan pada pasal 1 ayat
16 perusakan lingkungan adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan
langsung dan atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan atau hayati
lingkungan hidup sehingga melampui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Sedangkan
pada pasal 1 ayat 17 dijelasakan bahwa kerusakan lingkungan hidup adalah
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap fisik, kimia dan atau hayati lingkungan
hidup yang melampui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Seperti pada paparan pasal 4 ayat 2
dan 3 kriteria baku kerusakan ini meliputi
kriteria baku
kerusakan ekosistem dan kriteria baku
kerusakan akibat perubahan iklim. Kriteria baku
kerusakan ekosistem antara lain: kriteria baku
kerusakan tanah untuk produksi biomasa, kerusakan terumbu karang, kerusakan
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan atau lahan, kerusakan
mangrove, kerusakan padang lamun, kerusakan gambut dan kerusakan ekosistem
lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangakan kriteria baku
kerusakan akibat perubahan iklim antara lain: kenaikan temperature, kenaikan
muka air laut, badai dan kekerinagan.
Rusak berarti sudah tidak dapat
dimanfaatkan lagi sebagaimana fungsi sebenarnya. Dengan rusaknya lingkungan
berarti kegunaan atau manfaat lingkungan semakin berkurang dan akan mendekati
kepunahan. Rusaknya lingkungan hidup terjadi karena faktor perbuatan
manusia dan faktor alam. Di
Indonesia sendiri sudah banyak sekali lingkungan hidup yang rusak dan tercemar
kebanyakan karena faktor perbuatan manusia contohnya pristiwa semburan
lumpur lapindo di Sidoarjo.
Sudah Emat tahun peristiwa lumpur
lapindo itu terjadi di daerah Porong. peristiwa lumpur lapindo adalah peristiwa
menyemburnya lumpur panas di kawasan pengeboran lumpur lapindo di Lapindo
Brantas Inc Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong,
Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur
ini terjadi pada tanggal 29 Mei 2006.
Penyebab terjadinya semburan lumpur
adalah akibat dari pengeboran dengan tekanan yang sangat besar di Sumur Banjar
Panji milik Lapindo. Hal itu dapat menyebabkan tanah retak, dan akhirnya lumpur panas yang
bercampur gas keluar lewat samping lubang yang belum dipasangi pelindung. Dalam
hal ini pihak lapindo brantas terbukti bersalah atau dengan sengaja tidak
berhati-hati dalam proses pengeboran yang tidak mengikuti prosedur standar
dalam hal kagiatan pengeboran. Tetapi pihak lapindo brantas menyangkal bahwa
peristiwa tersebut terjadi karena akibat amplitude getaran gempa tektonik yang
terjadi di Jogjakarta pada tahun 2006 yang getaran gempa tersebut dapat merusak
struktur tanah di daerah Sidoarjo sehingga tidak stabil. Dan hal itu juga
berpengaruh pada keretakan tanah akibat pengeboran gas yang dilakikan oleh
lapindo brantas dan bahkan pendapat tersebut juga didukung oleh beberapa pakar
geologi.
Semburan lapindo ini mengandung
Nitrogen Dioksida (NO2) yang mudah terbakar dan hidrokarbon (HC) yang beracun.
Di Siring Barat, bahkan ditemukan kandungannya lebih 266 ribu kali ambang baku
HC diperbolehkan gas-gas itu berbahaya, bersifat karsinogeinik dan memicu
kanker, dampaknya akan terasa dalam jangka panjang.[1]
Peristiwa lumpur lapindo ini telah
menimbulkan banyak sekali dampak dan kerugian bagi masyarakat baik dari segi
psikologi, ekonomi, kesehatan dan sosial. Dalam empat tahun ini saja setidaknya
tiga kecamatan telah tenggelam, banyak rumah, sekolah tempat pribadatan yang
rusak dan tenggelam., begitu juga tumbuh-tumbuhan dan hewan banyak yang mati
akibat peristiwa semburan lumpur lapindo ini. Dari segi perekonomian area
persawahan dan tambak tenggelam dan hancur, pabrik-pabrik juga ikut terendam dan
akibatnya banyak tenaga kerja yang dirumahkan, Bahkan ada beberapa perempuan
yang terpaksa menjadi pekerja seks komersial (PSK) untuk menghidupi keluarga dan dari segi kesehatan ada beberapa warga
mengalami gangguan kesehatan dan meninggal dunia akibar pristiwa
ini. Dari beberapa dampak tersebut semua tindakan yang dilakukan oleh lapindo
brantas yang mengakibatkan semburan lumpur panas, masyarakat dapat meminta pertanggungjawaban
dalam menyelesaikan sengketa tersebut atas kerugian yang diterimanya.
Penyelesaian sengketa perkara
lingkungan hidup selain dapat dilihat dari sudut pandang hukum
administrasi dan hokum perdata, tetapi juga dapat di lihat dari sudut pidana. Hukum lingkungan
termasuk hukum
administrasi dan oleh sebab itu jenis sanksi utama pelanggaran hukum lingkungan
hidup adalah sanksi administratif, mengingat
dampak pelanggaran hukum lingkungan
hidup itu sangat luas dan menimbulkan kerugian yang besar serta mengancam
keselamatan manusia, maka undang-undang ini mengatur kemungkinan pihak yang
dirugikan untuk menuntut ganti kerugian melalui prosedur perdata. Dalam hal tingkat
kesalahan pelaku relatif berat dan
atau akibat perlanggaran tersebut relatif besar, dan
atau menimbulkan keresahan masyarakat tersangka pelanggar hukum lingkungan
dapat diajukan melalui prosedur pidana.[2]
Jadi sanksi terhadap pelanggar hukum lingkungan
hidup dapat berbentuk sanksi administratif, perdata dan
pidana.
Prosedur pidana dapat digunakan
bagi pelanggaran lingkungan hidup hanya setelah prosedur hukum
administratif dan perdata,
yang apabila kedua prosedur hokum tersebut telah
gagal dan tidak efektif dalam mencapai
tujuan penegakan hukum lingkungan
hidup. Hokum pidana ditempatkan sebagai senjata yang terakhir (Ultimum
remedium) setelah berbagai sanksi lain tidak membawa dampak positif untuk
kasus tersebut. Maka apabila terjadi suatu pelanggaran hukum lingkungan
hidup tidak benarkan menggunakan langsung prosedur hukum pidana tanpa
didahului dengan prosedur hukum administratif dan hukum perdata.
Hukum pidana
menjadi obat terakhir, karena ia membawa dampak sampingan yang merugikan.
Dampak tersebut menyinggung sangat dalam terhadap kehidupan pripadi terpidana.
Sanski hukum pidana relatif berat karena perampasan kemerdekaan merupakan sanksi yang menonjol.[3] Dalam tataran ketatanegaraan, pejabat memegang
peranan yang amat penting dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, peran pejabat
administrasi dipandang sebagai yang pertama-tama yang bertanggung jawab, dan
oleh karena itu berarti kekuasaan yustisial ditempatkan sebagai Ultimum
remedium. Pejabat administrasi
harus bereaksi terlebih dahulu, yang memberikan izin harus lebih dahulu memberi
sanki jika izin di langgar.[4]
Hukum pidana dalam hal ini KUHP pada
dasarnya telah mengatur beberapa ketentuan yang substansinya memberikan
perlindungan terhadap lingkungan hidup, Perbuatan pidana lingkungan hidup yang
bersumber dari KUHP adalah Pasal 187 dan 188 KUHP menjelaskan apabila dengan
sengaja atau pun dengan tidak sengaja dalam arti lalai menimbulkan dan
menyebabkan kebakaran, ledakan, banjir yang menimbulkan bahaya umum bagi barang
dan mengakibatkan bahaya atau kematian bagi nyawa seseoranga atau orang lain,
pasal 202 dan 203 KUHP menjelaskan apabila dengan sengaja maupun tidak sengaja
(lalai/alpa) memasukkan barang sesuatu ke dalam sumur, pompa, sumber atau ke
dalam perlengkapan air minum untuk umum maupun di pakai bersama-sama dengan
orang lain yang diketahui bahwa airnya berbahaya bagi kesehatan dan nyawa orang.
Tetapi KUHP hanya sebatas ketentuan hukum pidana secara umum dan masih
terdapat kekurangan dalam memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup
tidak secara spesifik dan terinci membahas tentang ketentuan-ketentuan tentang
permasalahan ini, begitu juga subjek hukum dari KUHP hanya melindungi manusia
saja, hewan dan tumbuhan tidak masuk dalam subjek hukum KUHP di sini hanya
dijelaskan barang, apakah maksud barang terebut adalah juga termasuk hewan dan
tumbuhan.
Berangkat dari
kekurangan tersebut maka disusunlah suatu undang-undang yang mengatur tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dan pada saat ini Indonesia
telah mempunyai suatu peraturan yang mengatur tentang lingkungan hidup
yaitu undang-undang No. 32 Tahun 2009
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UUPLH). Dalam UUPLH ini
telah mengatr secara spesifik dan lebih terinci dalam melindungi dan mengelola
lingkungan hidup, di UUPLH ini juga hewan dan tumbuh-tumbuhan mempunyai hak
untuk dilindungi oleh hokum dan apabila terjadi sengketa maka yang menjadi
pihak penggugatnya melalui perwakilan yaitu badan hokum atau organisasi
lingkungan hidup.
Kasus semburan lumpur lapindo di porong sidoarjo, masyarakar sekitar
semburan telah banyak menanggung beban penderitaan akibat kerugian yang
diterimanya dari peristiwa ini, mereka mengupayakan dalam menyelesaikan masalah
dengan meminta ganti rugi dari pihak lapindo, dalam emapat tahun ini saja hanya
sebagian yang sudah di bayarkan dan sisanya masih belum terlunasi. Seperti yang
dialami oleh Hasan, Upaya Hasan Kepala Desa Kedung Bendo untuk
mendapatkan ganti rugi tanahnya yang terendam lumpur Lapindo sejak tahun 2006
masih terus dilakukan. Hingga kini, tanahnya seluas 43 ribu meter persegi belum
juga dibayar ganti rugi meskipun sebenarnya masuk dalam kawasan peta terdampak
sesuai Perpres 14/2007.[5]
Ganti rugi 45
persen dari total berkas korban lumpur Lapindo yang masuk peta berdampak
berdasarkan Perpres Nomor 14 tahun 2007 masih belum lunas. Total warga korban
lumpur lama berdasarkan perpres tersebut sebanyak 13.237 berkas. Hingga saat
ini baru sekitar 7.280 berkas yang dilunasi. Warga yang sudah lunas menerima
ganti rugi kebanyakan adalah mereka yang memiliki sertifikat seperti warga
Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perum TAS). Sementara yang
belum lunas, kebanyakan adalah yang nonsertifikat yang terbagi dalam beberapa desa
seperti Desa Renokenongo, Jatirejo, Siring dan Kedungbendo. "Bahkan masih
ada 19 berkas milik warga Desa Gempolsari Kecamatan Kedungbendo yang belum
menerima ganti rugi sama sekali," kata Koordinator Pusat Advokasi dan
Kampanye Korban Lumpur Lapindo, Paring Waluyo, Selasa (28/12). Padahal wilayah
warga yang belum dibayar ini, kondisinya memprihatinkan. Kalau hujan dipastikan
banjir akibat berdirinya tanggul penahan lumpur. Desa Gempolsari yang masuk
areal peta berdampak ini juga seperti desa mati karena sudah banyak
ditinggalkan penghuninya. Selain ada warga yang belum menerima ganti rugi sama
sekali, juga terdapat puluhan warga yang baru menerima uang muka ganti rugi
20%. Mereka juga dari beberapa desa dan menuntut sisa ganti rugi yang 80%
langsung dibayar tunai seperti diatur dalam Perpres Nomor 14 tahun 2007. Karena
tuntutannya dibayar tunai, pihak PT Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar
mereka. Sebab PT MLJ hanya bisa membayar dengan cara dicicil Rp15 juta per
bulan per berkasnya. Ironisnya pembayaran cicilan itu juga sering macet. Bahkan
nilainya juga diturunkan menjadi Rp5 juta saja per bulan.[6]
Maka dari uraian di atas masyarakat sekitar semburan sudah berupaya untuk
meminta ganti rugi tetapi hal itu tidak berjalan mulus atau tidak efektif,
prosedur hukum administratif dan hukum perdata sudah dilakukan tetapi hal itu
tidak sesuai dengan keinginan masyarakat sekeitar smburan maka masyarakat
dampak menempuh jalur hukum pidana apabila itu memang sebagai jalan terakhir.
Di dalam UUPLH No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkunagan hidup telah mengatur ketentuan pidana bagi pelanggar hukum
lingkungan hidup. Di dalam pasal 97 menjelaskan bahwa tindak pidana dalam UU
ini merupakan sebuah tindak kejahatan, kejahatan dalam lingkungan hidup
bukanlah suatu tindak kejahatan yang biasa melainkan suatu tindakan kejahatan
yang dapat dimasukkan ke dalam kategori yang luar biasa karena menyangkut
kepentingan jangka pendek dan jangka panjang, yang di maksud dalam kepentingan
jangka pendek adalah manfaat dan dampak yang ditimbulkan setelah terjadinya
suatau perusakan dan pencemaran lingkungan hidup sedangkan kepentingan jangka
panjangnya adalah bahwa manfaat dan dampak dalam hal itu akan berimbas kepada
anak cucu yang masa akan datang, meraka tidak dapat menggunakan manfaat dan
menikmati lingkungan hidup dengan baik akibat sudah tercemarnya lingkungan atau
mungkin mereka akan hidup menderita akibat dari punahnya alam atau lingkungan.
Dalam pasal 98 ayat 1 menjelaskan
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah). Dan pasal 99 ayat 1 menjelaskan Setiap orang
yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien,
baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).[7] Dari penjelasan di atas sudah jelas bahwa pihak yang dengan sengaja maupu
lalai melakukan perbuatan yang mengkibatkan dilampuinya buku mutu dalam
berbagai hal ini akan mendapatkan sanksi pidana penjara dan denda itu pun
tergantung sanksi kesalahan apa yang sudah dilakukan.
Pada pasal 109 menjelaskan
Setiap orang
yang melakukan usaha dan/ataukegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah). Pasal 110 menjelaskan Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki
sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) i, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).[8] Pada dua pasal tersebut menjelaskan apabila melakukan suatu usaha yang
tanpa ada izin maupun yang tanpa sertifikat kompetensi penyusun amdal maka itu
juga dapat dikenai sanksi pidana penjara dan denda, maka apabila disangkut
pautkan dengan kasus semburan lumpur lapindo yang dalam menyelesaikan dengan
prosedur hukum pidana maka harus dilihat dan diteliti apakah pidak lapindo
sudah mendapatkan izin dan sertifikat dalam melakukan usaha pengeboran di
daerah porong, apabila kedua hal itu tidak dijumpai maka pihak lapindo dapat
dikenai pasal-pasal tersebut.
Di UUPLH ini tidak
mengatur kepada pihak yang melakukan usaha tetapi juga mengatur tentang pejabat
pemberi izin lingkungan yang tidak memberikan izin yang tanpa diadanya AMDAL
atau UKL-UPL maka dapat di kenai sanksi penjara maksimal 3 tahun dan denda
sebanyak tiga milyar rupiah seperti yang sudah tertera dalam pasal 111 ayat 1
yang berisi Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan
tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).[9]
Pejabat yang memberikan
izin tentu saja harus melakukan tugasnya yaitu mengawasi jalannya suatu usaha
kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan yang sudah diizinkannya. Dan apabila
pejabat tersebut tidak melakukan tugasnya maka dapat diberi sanksi pidana seperti
dalam pasal 112 yaitu Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak
melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).[10] Namun dalam pasal ini tidak menjelaskan dan menyangkut pejabat yang tidak
sengaja atau lalai dalam melakukan tugasnya apakah dapat dikenai sanksi pidana,
apabila hal itu tidak dicantumkan dalam pasal UUPLH No 32 Tahun 2009 pejabat
yang berwenang dapat menggunakan alasan mereka dengan lalai tidak melaksanakan
tugas pengawasan apabila terjadi suatu permasalahan dalam lingkungan hidup.
Di dalam UUPLH No 32
Tahun 2009 ini juga mengatur tentang tindak pidana lingkungan hidup yag
dilakukan atas nama badan usaha maka tututan tindak pidana dan sanksi pidana
dapat dijatuhkan kepada badan usaha atau orang yang memberi perintah atau
pemimpin kegiatan, ini diatur dalam pasal 116 ayat 1 yaitu Apabila tindak
pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha,
tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a). badan usaha; dan/atau,
b). orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau
orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Dan
bagi yang sanksi pidana dijatuhkan keoada badan usaha dapat diwakili oleh
pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan, ini terdapat
dalam pasal 118 yang isinya sebagai berikut Terhadap tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada
badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di
luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku
fungsional. Dan dalam pasal 117 di jelaskan apabila tuntuta pidana diajukan
kepada pemberi perintah atau pemimpin maka ancaman pidana yang dijatuhkan
berupa penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Dari penjelasan beberapa
pasal di atas, kasus lumpur lapindo ini dapat di kenai delik-delik khusus
seperti pasal 97, 99 (1), 110, 111, dan 112. Namun tentu saja itu dapat
dilakukan apabila para aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) berbuat
jujur, bersih dari suap dan tidak berkoorporasi dalam kasus sembran lumpur
lapindo ini.
Penyelesaian masalah atau sengketa dalam
kasus lingkungan hidup dapat dilakukan melalui pengadilan maupun luar
pengadilan secara suka rela yang berdasarkan pilihan para pihak yang
bersengketa. Dan apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak
membuahkan hasil maka para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketa
tersebut melalui pengadilan.
Pada dasarnya
adalah masyarakat yang merasa dirugikan oleh pihak lapindo ini mencari keadilan
atas tindakan yang sudah dilakukan yang membawa dampak kerugian yang sangat
besar baik dari segi ekonomi, sosial dan psikologi. Keadilan adalah tonggak
utama masyarakat. Dengan mengutip pendapat Adam Smitg, Sony Keraf mengemukakan
pendapat bahwa keadilan adalah syarat niscaya bagi keberadaan dan kelangsungan
hidup masyarakat manapun. Sebagai aturan main bagi relasi sosial manusia,
keadilan prayarat yang harus ada bagi adanya masyarakat. Keadilan adalah
tonggak utama yang menunjang seluruh bangunan masyarakat. Jika tonggak ini
disingkirkan, bangunan masyarakat yang megah dan raksasapasti akan hancur
berantakan. Karena itu masyarakat tidak dapat bertahan diantara mereka yang
setiap saat siap untuk saling melukai dan merugikan satu sama lain. Singkatnya
keadilan adalah keutamaan moral yang utama dan niscaya, dalam pengertian bahwa
masyarakat tidak mungkin ada tanpa keadilan.[11]
Jadi
kesimpulan yang dapat diambil adalah kasus semburan lumpur lapindo ini tidak
hanya dapat dilihat dari sudut pandang hukum adminsistratif atau perdata tetapi
juga dapat dilihat dari sudut pandang hukum pidana dan dalam tindak pidana
lingkungan hidup ini telah mengatur tentang ketentuan-ketentuan pidana yang
mengacu pada pasal-pasal UUPLH No. 32
tahun 2009 tentang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Dan itu pun prosedur hukum pidana dapat
digunakan setelah prosedur-proseur lain telah gagal atau tidak efektif dalam
menyelesaikan permasalahan. Hukum pidana sebagai alaternatif terakhir untuk
menyelesaikan msalah atau sengeketa kasus yang belum terselesaiakan. Dan
apabila mayarakat sekitar semburan lumpur telah menggunakan penyelesain di luar
persidangan namun tidak berhasil masyarakat dapat menggugat pihak lapindo
melalui pengadilan.
[1]Fathahilla, Kasus lapindo
dari berbagai aspek hukum ”http://fatahilla.blogspot.com”, / (Diakses Pada Tanggal
27 Desember 2010).
[2]Erman Rajagukguk, Ridwan Khairandy,
“ Hukum Dan Lingkungan Hidup Di Indonesia”, (Jakarta: Progam Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001), 521.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar