BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Krisis lingkungan
global yang berlangsung sejak tiga dawarsa terakhir merupakan konsekuensi dari penggunaan pola-pola kegiatan
pembangunan yang semata-mata diorientasikan untuk meraih pertumbuhan ekonomi.
Kerusakan hutan tropis dan hutan alam yang terjadi di Negara-negara sedang
berkembang teramasuk Indonesia, misalnya cenderung bersumber dari anutan
paradigma
pengusaan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang didominasi Negara (state dominated forest control and management)
semata-mata untuk mengajar pertumbuhan ekonomi.[1]
Konsekuensi yang muncul kemudian adalah selain secara nyata telah
menimbulkan degradasi kuantitas maupun kualitas sumber daya hutan dan tanah
yang menimbulkan perubahan iklim global. (ecological
loss), juga karena coraknya yang menutup ruang bagi partisipasi masyarakat
dan akses masyarakat terhadap hutan dan tanah sebagai sumber kehidupan (economical loss), dan menggusur serta
mengabaikan variasi-variasi kebudayaan lokal yang mencerminkan kearifan lingkungan
(ecological wisdom) masyarakat asli (indigeonous people) dalam pengelolaan
dan pemanfaatan sember daya hutan (social
and cultur loss). Jadi, seperti kata Bodley kegiatan pembangunan yang
didominasi negara, bercorak sentralistik, dan semata-mata diorientasikan untuk
mengajar pertumbuhan ekonomi pada akhirnya hanya menimbulkan korban-korban
pembangunan (victims of developnent).[2]
Seperti yang terjadi di Pulau
Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Riau pada saat ini,
kemarin warga Pulau padang yang
tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKM-PPP)
melakukan Aksi Jahit Mulut di Depan Gerbang DPR-RI di Jakarta. Mereka melakukan
aksi tersebut karena untuk menyelamatkan lingkungan, tanah dan hutan mereka
dari kehancuran. Ancaman
kerusakan lingkungan serta hilangnya akses warga terhadap hutan dan tanah
sebagai sumber utama kehidupan perlahan sudah mulai mereka rasakan sejak
PT.RAPP mulai mendatangkan puluhan alat berat ke Pulau Padang.[3]
Konflik berkepanjangan
di Pulau Padang yang meliputi 14 desa dipicu oleh keluarnya ijin perusahan
hutan tanaman industry PT. RAPP tanggal 21 Juni 2009 melalui surat keputusan
Menteri Kehutanan No. 327/Menhut-II/2009 seluas 350.165 hektar,
dimana yang masuk di Pulau Padang seluas 41.205 hektar. Konsesi RAPP di Pulau Padang ini
sebagian besar tumpang tindih dengan tanah-tanah yang sudah menjadi hak
masyarakat local, baik berupa perkebunan karet, sagu, maupun areal perladangan
dan eks perladanangan dan perkebunan.[4]
Izin HTI tersebut akan
sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan ekologi yang ada di wilayah
sekitarnya. Karena akan terjadi dampak lingkungan yang sangat signifikan
apabila benar-benar terjadi deforestasi diwilayah ini. Karena kawasan tersebut
adalah kawasan gambut yang dilindungi. Sudah hal yang wajar akan terjadi
bencana ekologi apabila lahan gambut tersebut di ekploitasi. Ditambah lagi
dengan digantinya tanaman habitat asli dari daerah tersebut yang nantinya juga
akan mempengaruhi keseimbangan dari lingkungan itu sendiri.[5]
Dengan mengacu
konsep pluralisme atau kemajemukan hukum dari Sally F. Moore maka masing-masing
pihak yang berkepentingan untuk menguasai lahan gambut tersebut di atas
merupakan wujud nyata dari semi
autonomous social field (lapangan sosial semi-otonom). Karakteristik lapangan
sosial semi-otonom adalah kemampuan untuk menciptakan aturan-aturan yang
berlaku dalam lingkungan sendiri, mendorong bahkan memaksa warganya mentaati
aruran tersebut. Berbagai paksan tersebut dapat berupa sanksi yang bersifat
ekonomi atau psikologi, menurut Griffitsh bahwa aturan, adat, simbol yang
diciptakan sendiri rentan terhadap aturan-aturan, keputusan-keputusan dan
kekuatan dari luar yang lebih besar dan mengelilinginya.[6]
Pluralisme
hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih
sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Pluralisme hukum harus
diakui sebagai sebuah realitas masyarakat.[7] Gagasan pluralisme hukum sebagai sebuah
konsep, mulai marak pada dekade 1970an, bersamaaan dengan berseminya ilmu antropologi.
Griffitsh
membagi pluralisme hukum atau kemajemukan hukum menjadi dua yaitu weeek legal pluralism (pluralisme hukum
yang lemah) dan strong legal pluralism (pluralisme
hukum yang kuat). Pluralisme hukum yang lemah mengandung makna bahwa suatu kemajemukan
hukum yang berusaha melakukan penggabungan atau perujukan antara hukum adat
dengan hukum negara. Pengertian pluralisme hukum yang kuat, yaitu adanya
berbagai hukum yang berlaku di dalam lapangan sosial tertentu tanpa harus
merujuk kepada hukum negara.[8]
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah interaksi antara hukum negara dan hukum
lokal?
2. Bagaimana implikasi teoritis dan praktis dari kedua
sistem hukum tersebut?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kearifan
Masyarakat Adat Pada Umumnya Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan
Inti permsalahan pengelolaan sumber daya alam adalah
hubungan timbale balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Ilmu yang
pempelajari hubungan timbale balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya
disebut ekologi. Konsep sentral dalam ekologi disebut ekosistem, yaitu suatu
system ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbale balik antara makhluk hidup
dengan alam lingkungannya.[9]
Dalam interaksinya, manusia mengamati dan
melakukan adaptasi serta memperoleh pengalaman, dan kemudian mempunyai wawasan
tertentu tentang lingkungan hidupnya. Wawasan manusia terhadap lingkungannya
inilah yang disebut dengan citra lingkungan, yang menggambarkan persepsi manusia tentang struktur, mekanisme, dan fungsi
lingkungannya, juga interaksi dan adaptasi manusia termasuk respons dan reaksi
manusia terhadap lingkungannya. Intinya, citra lingkungan memberi petunjuk
tentang apa yang dipikirkan dan diharapkan manusia dari lingkungannya, baik
secara alamiah maupun sebagai hasil tindakannya, dan tentang apa yang patut
atau tidak patut dilakukan terhadap lingkungannya.[10]
Citra lingkungan
masyarakat tradisional, seperti yang berkembang dalam masyarakat di
negara-negara sedang berkembang lebih bercorak magis-kosmis. Menurut alam pikir
magis-kosmis, manusia ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari alam
lingkungannya, manusia dipengaruhi an mempengaruhi serta memiliki keterikatan
dan ketergantungan dengan lingkungannya, sehingga wawasannya bersifat
menyeluruh, holistik, dan komprehensif. Corak wawasan holistik membangun
kesadaran bahwa kesinambungan hidup manusia sangat tergantung pada kelestarian
fungsi dan berkelanjutan lungkungannya. Lingkungannya harus diperlakukan dan
dimanfaatkan secara bijaksana dan bertanggungjawab sesuai dengan daya dukung
dan kemampuannya agar tidak menimbulkan malapetaka bagi kehidupan manusia. Hal
ini karena hubungan manusia dengan lingkungannya bukanlah merupakan hubungan
yang bersifat eksploitatif, melainkan interaksi yang saling mendukung dan
memelihara dalam keserasian, keseimbangan dan keteraturan yang dinamis.[11]
Citra lingkungan
seperti digambarkan di atas senada dengan citra lingkungan yang berpangkal dari
alam pikir masyarakat hukum adat yang bercorak religio-magis. Masyarakat hukum
adat mengidentifikasi dirinya sebagai bagian yang terintegrasi dengan alam
semesta dalam hubungan yang saling terkait, tergantung, dan saling
mempengaruhi. Yang paling utama adalah bagaimana menciptakan hubungan yang
selaras, serasi, dan seimbang, sehingga tercipta suasana harmoni antara manusia
dengan lingkungannya. Jadi secara bersahaja dapat dikatakan bahwa citra
lingkungan manusia Indonesia terbentuk dan terbina dari citra lingkungan
masyarakat hukum adat.[12]
Secara empiris dapat dicermati bahwa citra lingungan
masyarakat huum adat sering tampaknya tidak rasional, bersifat mistis, karena
selain bertalian dengan ehidupan di alam
nyata juga erat aintannya dengan pemeliharaan keseimbangan hubungan dalam alam
ghaib. Namun demiian, citra lingungan tradisional tidak berarti menimbulkan dampa buruk bagi
lingkungan hidup, tetapi justru menciptakan sikap dan perilau manusia yang
serba religious dan magis terhadap lingkungannya, dalam bentuk pratik-prakti
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang bijaksana dan bertanggung jawab.
Inilah esensi dan ekspresi dari kearifan masyaraat hokum adat terhadap
lingkungan hidupnya.[13]
Kearifan lingkungan masyarakat adat pada hakikatnya
berpangkal dari system nilai dan religi yangdianut dalam komunitasnya. Ajaran
agama dan kepercayaan masyarakat local menjiwai dan member warna serta
mempengaruhi citra lingkungannya dalam wujud sikap dan perilaku terhadap
lingkungannya. Hakikat yang terkandung di dalamnya adalah memberi tuntutan
kepada manusia untuk berperilaku yang serasi dan selaras dengan irama alam
semesta, sehingga tercipta keseimbangan hubungan anatara manusia dengan alam
lingkungannya.[14]
Kendatipun sering tampak tidak rasional dan tidak
logis, tetapi secara nayata perilaku teradap alam dengan pola-pola tindak yang
bercora mistis dan magis tersebut menciptakan kelestarian dan keberlanjutan
lingkungan hidup. Perilaku masyarakat yang menetapkan tempat-tempat tertentu di
kawasan sungai, sumber air, danau, bukit, gunung, hutan, pohon besar, pantai,
laut dan lain-lain sebagai tempat yang angker, keramat, sacral, merupakan
strategi yang efektif untuk melindungi dan melestarikan sumberdaya alam hayati
maupun non hayati dari tindakan negative manusia, sehingga fungsi
hidro-orologis dari hutan, sungai, danau, sumber air dan penyedia sumber daya genetis
bagi kehidupan sebsisten manusia tetap terjaga secara berkelanjutan.[15]
B. Sekilas Tentang Pulau
Padang
1.
Letak Geografis & Adminsistratif
Berdasarkan
letak geografis, Pulau Padang terletak di sebelah timur Pulau Sumatera
dipisahkan dengan Selat Panjang, dengan batas wilayah sebagai berikut:[16]
- Sebelah barat dengan Pulau Sumatera
- sebelah timur dengan Pulau Merbau,
- sebelah tenggara dengan Pulau Rantau, dan
- sebelah utara dengan Pulau Bengkalis.
Panjang Pulau Padang dari utara ke selatan adalah 60 km,
lebarnya 29 km dan sebagian besar merupakan areal dengan topografi datar/landai
dengan ketinggian antara 0 – 6 m dpl. Berdasarkan wilayah administratif
pemerintahan, Pulau Padang termasuk wilayah Kecamatan Merbau, Kabupaten
Kepulauan Meranti, Propinsi Riau. Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan
kabupaten termuda di propinsi Riau yang baru berdiri tahun 2009 sebagai
pemekaran wilayah Kabupaten Bengkalis. Wilayah Kabupaten kepulauan Meranti
terdiri dari 13 Pulau-pulau kecil yaitu pulau Tebingtinggi, Pulau Padang, Pulau
Merbau, Pulau Ransang, Pulau Topang, Pulau Manggung, Pulau Panjang, Pulau Jadi,
Pulau Setahun, Pulau Tiga, Pulau Baru, Pulau Paning, dan Pulau Dedap.[17]
Sebagai daerah Kepulauan, Kabupaten Kepulauan Meranti
merupakan daerah yang terdiri dari dataran-dataran rendah, dengan ketinggian
rata-rata sekitar 1-6,4 meter di atas permukaan laut. Di daerah ini juga
terdapat beberapa sungai dan tasik (danau) seperti Sungai Suir dan Tasik Nembus
di Pulau Tebingtinggi; Sungai Merbau, Sungai Selat Akar dan Tasik Putri Puyu di
Pulau Padang; Tasik Air Putih dan Tasik Penyagun di Pulau Rangsang. Gugusan
daerah kepulauan ini terdapat beberapa pulau besar seperti Pulau Tebingtinggi
(1.438,83 km²), Pulau Rangsang (922,10 km²), Pulau Padang (1.109 km2)[18]
Sebelum pemekaran, Kecamatan Merbau terdiri dari Pulau
Padang, Pulau Merbau dan Pulau Dedap. Namun setelah pemekaran Kecamatan Merbau
tinggal Pulau Padang dan Pulau Dedap. Pulau Padang terdiri dari 13 desa dan 1
kelurahan, dan semuanya termasuk wilayah Kecamatan Merbau. Sedangkan untuk
wilayah Pulau Dedap (luas sekitar 2 ha) kondisinya tidak berpenghuni. Nama-nama
desa yang terdapat di Pulau Padang dari sisi utara ke selatan adalah sebagai
berikut: Tanjung Padang, Dedap, Kudap, Bandul, Selat Akar, Mengkopot, Mengkirau,
Bagan Melibur, Kelurahan Teluk Belitung, Mekarsari, Pelantai, Meranti Bunting,
Tanjung Kulim dan Lukit.[19]
2. Kependudukan
& Perekonomian
Pulau Padang sejak zaman Kolonial sudah dihuni oleh
masyarakat. Hal ini terlihat pada Peta yang dibuat pada tahun 1933 oleh
pemerintah Kolonial Belanda. Dalam peta tersebut telihat letak beberapa
perkampungan yang sudah ada sejak dibuatnya peta tersebut seperti Tandjoeng
Padang, Tg. Roembia, S. Laboe, S. Sialang Bandoeng, Meranti Boenting, Tandjoeng
Kulim, Lukit, Gelam, Pelantai , S. Anak Kamal dan lain-lain. Dari waktu ke
waktu desa Lukit dan desa-desa lain di Pulau Padang, sebagaimana telah disebut
di atas semakin ramai didiami oleh masyarakat, baik penduduk asli pedalaman
suku Akid/Sakai, Melayu, Suku Jawa, dan Cina.[20]
Jumlah penduduk Pulau Padang pada bulan Januari 2011 sebanyak
35.224 jiwa (atau 8206 KK)(Sumber: UPTD Kependudukan dan Catatan Sipil Kec.
Merbau April 2011). Meskipun terdiri dari berbagai suku dan etnis antara
lain; Melayu, Jawa, Akid/Sakai, Cina dan lain-lain namun masyarakat hidup dalam
kerukunan antar sesama dan kedamaian meski berbeda suku dan agama.[21]
Berdasarkan mata pencahariannya, hampir secara keseluruhan
sumber kehidupan mereka menggantungkan diri pada hasil hutan, perkebunan karet,
sagu, pertanian/palawija, yang sudah dilakukan secara turun temurun sejak zaman
kolonialisme Belanda. Bahkan untuk perkebunan sagu dan karet berkelanjutan
sampai turun temurun beberapa generasi, dimana di sebagian tempat umur pohon
karet sudah mencapai 80-100 tahun yang sampai saat ini masih berproduksi.
Kecenderungan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah berkebun,
bercocok tanam, mengembangkan perkebunan karet atau mencari kayu di hutan,
nelayan, berdagang maupun buruh lepas. Sampai saat ini, masyarakat masih tetap bergantung hidup
dengan hasil hutan dan lahan perkebunan, baik karet atau sagu. Hal ini dapat
dibuktikan dengan bahan baku dasar perumahan warga yang mendiami Pulau Padang
95 persen berasal dari kayu hutan.[22]
3.
Kepemilikan Lahan Atau Tanah
Sejak dahulu kepemilikan lahan/tanah penduduk di Pulau Padang
memiliki ciri khas tersendiri, yang sangat jauh berbeda dengan kepemilikan
tanah di Pulau Jawa. Bagi masyarakat Pulau Padang kepemilikan cukup hanya
dengan bermusyawarah antar sesama warga (kelompok) yang bersepakat mengambil
sebuah kawasan dan kemudian cara penentuannya adalah dengan undian. Sampai saat
ini pun mayoritas masyarakat tidak memiliki SKT kepala desa (alas Hak) untuk
perumahan dan Kebun karet yang mereka miliki atau lahan-lahan baru yang mereka
jadikan untuk perkebunan baru. Namun demikian secara turun temurun
masing-masing mengakui bahwa ‘LAHAN/KEBUN’ tersebut dulunya miliknya si Polan,
maka sampai hari ini pun tanah tersebut adalah milik ahli waris si Polan.[23]
4. Struktur Tanah
Pulau Padang merupakan lahan/tanah rawa gambut dengan
ketebalan gambut mencapai 6 meter lebih. Hasil uji pengeboran 4 kilometer dari
bibir pantai tepatnya di RT 01 RW 03 dusun 03 desa Lukit. Dan pada jarak
5 kilo meter dari bibir pantai mencapai kedalaman gambut mencapai 5.8 meter.[24]
Kondisi di atas didukung data hasil penelitian Tim Fakultas
Kehutanan UGM pada tahun 2011, (dengan menggunakan pendekatan pengeboran tanah
pada 70 titik koordinat), lahan gambut di Pulau Padang termasuk lahan gambut
dalam dengan kedalaman > 3 meter, bahkan di sebagian besar lokasi pengeboran
kedalaman lahan gambutnya > 6,5 meter (Karyanto, Oka dkk. 2011). Pulau
Padang juga menjadi lokasi kajian utama disertasi Dr. Michael Allen Brady dari
Universitas British Columbia (sekarang menjabat Executive Director GOFC-GOLD
(Global Observation of Forest and Land Cover Dynamics (GOFC-GOLD) --GOFC-GOLD
adalah Panel of the Global Terrestrial Observing System (GTOS), yang disponsori
oleh FAO, UNESCO, WMO, ICSU and UNEP-, menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan
Pulau Padang memiliki kedalaman gambut 9 – 12 meter.[25]
5.
Kondisi Biofisik & Hutan
Pulau Padang termasuk dalam formasi hutan gambut, dengan
jenis-jenis pohon penyusun tegakannya antara lain: meranti rawa (Pharashorea
sp), ramin (Gonystilus bancanus), punak (Tetramerista glabra),
meranti batu (Shorea uliginosa), bintangur (Callophyllum sp),
meranti (Shorea sp), dan geronggang (Cratoxylon arborences).
Berkenaan dengan kondisi biofisik dan keanekaragaman biodiversity di Pulau
Padang, Kementerian Kehutanan menetapkan sebagian kawasan Pulau Padang
khususnya di bagian tengah Pulau Padang yang merupakan kubah gambut sebagai
Suaka Margasatwa Tasik Tanjung Padang dengan luas 16.068 ha.[26]
C.
Interaksi Antara Hukum Negara Dan Hukum Lokal
1.
Hukum Negara
Sebagai
hierarkis, perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan semberdaya
alam perhutanan dapat disebutkan sebagai berikut: (1) UUD 19545, (2) UU no. 5
Tahun 1960 Tentang Pengelolaan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, (4) UU No. 23
Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, (5) UU No. 27 Tahun
2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, (6) PP No. 6
Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta
Pemanfaatan Hutan, (7) PP No. 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan, yang
telah dirubah dengan PP No. 60 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hutan, (8) PP No.
27 tahun 1991 Tentang Rawa, (9) PP No.
24 tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan, (10) PP No. 6 Tahun 1999 Tentang
Pengusahaan Hutan Dan Pemungutan Hasil Hutan Ada Hutan Produksi (11) SK Menteri Kehutanan No. 327/Menhut-II/2009 Tentang
Izin Perluasan Areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang.
Di
dalam UUD 1945 ditetapkan keranga normatif
tentang bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola. Ada tiga rambu yang
ditetapkan. Pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasaran asas
kekeluargaan. Kedua, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Ketiga, Negara
mamiliki hak menguasai atas segenap semberdaya alam demi mewujudkan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rambu-rambu normatif tersebut kemudian dijabarkan dalam UUPA, yang mengatur,
bahwa hak menguasai dari negara memberi wewenang untuk: (1) mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan , penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan seganap
sumberdaya alam, (2) menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang
dan segenap sumberdaya alam, (3) mennentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang beraitan dengan segenap
sumberdaya alam. Hak menguasai oleh negara tersebt diorientasikan untuk
kesejahteraan rakyat dan pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada pemerintah
daerah dan masyarakat hukum adat (pasal 2).[27]
Secara khusus norma pengelolaan sumberdaya alam
perhutanan diatur dalam UU Perhutanan. Berdasarkan UU ini pengeloaan sumberdaya
alam perhutanan diserahkan pengaturannya kepada pemerintah (menteri) untuk
menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai: a) Mengatur dan mengurus
segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; b)
menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan c)
mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum
mengenai kehutanan. Yang dimkasud
dengan Pengurusan
hutan dalam UU perhutanan ini meliputi
kegiatan penyelenggaraan: a.
perencanaan kehutanan, b.
pengelolaan hutan, c.
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan
kehutanan, dan d. pengawasan. Ditentukan pula, setiap orang atau badan
hukum yang melakukan usaha pemanfaatan hutan produksi diwajibkan memiliki izin pemanfaatan hutan
produksi.[28]
Pada Pasal 21 UU perhutanan disebutkan bahwa Pengelolaan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan: a).
Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, b).
Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, c). Rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan d).
Perlindungan hutan dan konservasi alam. Dan pada Pasal 23
disebutkan bahwa pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan
seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.[29]
Ditentukan
lebih lanjut, bahwa Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
728/Kpts-II/1998 tanggal 9 November 1998 pasal 4 huruf a. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa: Luas Maksimum dari Penguasahaan
Hutan atau Hasil Penguashaan Hutan tanaman Industri baik unutk tujuan Plup
maupun untuk tujuan nonplup dalam 1 (satu) Provinsi 100.000 (seratus ribu)
hekter dan untuk seluruh Indonesia 400.000 (empat ratus ribu) hektar .[30]
Beberapa kesimpulan
dapat ditarik dari segenap ketentuan perundang-undangan (hukum negara) tersebut
di atas. Pertama, pengelolaan sember
daya alam perhutan sudah bersifat tidak sentralistik yang dalam artian memberi
peluang kepada masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam
melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Kedua secaea implisit sumberdaya alam
perhutanan masih dianggap sebagai sumberdaya alam milik bersama, yang
ditandai dengan penggunaan lembaga
perizinan dan belum dimungkinkannya untuk diberikan hak.
2.
Hukum Adat Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan
Kepemilian Lahan Atau Tanah
Berdasarkan mata pencahariannya, hampir secara keseluruhan
sumber kehidupan mereka menggantungkan diri pada hasil hutan, perkebunan karet,
sagu, pertanian atau palawija, yang sudah dilakukan
secara turun temurun sejak zaman kolonialisme Belanda. Bahkan untuk perkebunan
sagu dan karet berkelanjutan sampai turun temurun beberapa generasi, dimana di
sebagian tempat umur pohon karet sudah mencapai 80-100 tahun yang sampai saat
ini masih berproduksi. Kecenderungan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari adalah berkebun, bercocok tanam, mengembangkan perkebunan karet
atau mencari kayu di hutan, nelayan, berdagang maupun buruh lepas. Sampai
saat ini, masyarakat masih tetap bergantung hidup dengan hasil hutan dan lahan
perkebunan, baik karet atau sagu. Hal ini dapat dibuktikan dengan bahan baku
dasar perumahan warga yang mendiami Pulau Padang 95 persen berasal dari kayu
hutan.[31]
Sejak dahulu kepemilikan lahan atau tanah
penduduk di Pulau Padang memiliki ciri khas tersendiri, yang sangat jauh
berbeda dengan kepemilikan tanah di Pulau Jawa. Bagi masyarakat Pulau Padang
kepemilikan cukup hanya dengan bermusyawarah antar sesama warga (kelompok) yang
bersepakat mengambil sebuah kawasan dan kemudian cara penentuannya adalah
dengan undian. Sampai saat ini pun mayoritas masyarakat tidak memiliki SKT
kepala desa (alas Hak) untuk perumahan dan Kebun karet yang mereka miliki atau
lahan-lahan baru yang mereka jadikan untuk perkebunan baru. Namun demikian
secara turun temurun masing-masing mengakui bahwa ‘LAHAN/KEBUN’ tersebut
dulunya miliknya si Polan, maka sampai hari ini pun tanah tersebut adalah milik
ahli waris si Polan.[32]
Pada prinsipnya oara aparat pemerintah dan PT. Riau Andalan Pulp Paper (PT.RAPP) memilih dan menggunakan hukum begara
(hukum tertulis), sedangkan rakyat akan memilih dan menggunakan hukum lokal
(tidak tertulis/adat) dan juga menggunakan hukum tertulis PP No. 24 Tahun 1997
Pasal 24 Ayat 2 PP tersebut menegaskan bahwa seseorang yang telah mengusai tanah
selama 20 tahun atau lebih dengan iktikad baik dapat mengajukan pendaftaran
tanahnya untuk me,peroleh hak milik atas tanah dengan bukti sertifikat.
Bentuk nyata interaksi antara hukum negara dan hukum lokal dalam kaitannya
ini adalah konflik atau sengketa para pihak yang berkepentingan mengusai hutan
alam dan kemudian di ubah fungsinya menjadi hutanaman industri. Konflik terjadi karena pertama, adanya SK Nomor 327/Menhut Tahun 2009. Lewat SK inilah izin
operasional hutan tanaman industri (HTI) PT RAPP memiliki kewenangan untuk
mengubah hutan dan perkebunan milik warga menjadi hutan akasia untuk kebutuhan
industri. kedua, penyerobotan
lahan warga. ketiga, SK HTI ini juga dikawatirkan akan berpengaruh besar terhadap
kondisi lingkungan lahan gambut di salah satu pulau kecil terluar RI tersebut.
D.
Implikasi Teoritis Dan Praktis Dari Saling Pengaruh Hukum Negara Dan Hukum Lokal
Kekuatan berlakunya
UU (hukum tertulis) dimasyarakat dapat dibedakan menjadi tiga yaitu berlaku
secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Secara formal UU berlaku secaa
yuridis sejak diundangkan dan dinyatakan berlaku dalam lembaran negara. Hanya
saja belum tentu UU tersebut mempunyai kekuatan berlaku secara sosiologis, dalm
arti ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat. Hukum lokal (hukum tidak
tertulis/hukum adat) yang dipakai dasar hukum oleh warga desa setempat justru
mempunyai kekuatan berlaku secara sosiologis karena benar-benar dilaksanakan
dan ditaati oleh warga masyarakat. Implikasi teoritis saling pengaruh dari
hukum negara (hukum tertulis) dan hukum lokal (hukum tidak tertulis/hukum adat)
berupa interaksi atau persinggungan antara kedua sistem hukum tersebut yang
menimbulkan onflik atau sengketa dari pihak-pihak yang berkepentingan
kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam hutan alam. Masing-masing pihak
mempunyai bargaining power untuk
menjatuhkan pihak lain dengan menggunakan dasar hukumnya sendiri-sendiri.
Secara teoritis, konflik atau sengketa dapat berdampak negatif adanya konfil
atau sengketa antara lain terganggunya keserasian hubungan sosial, merusak
tujuan bersama, menimbulkan kebencian dan kebingungan dan mengurangi
kepercayaan serta membangkitkan emosi.[33]
Hukum negara yang
secara sistematis mengekspresikan kekuasaan pemerintah kemudian mengabaikan dan
menggusur keberadaan sistem lain yang hidup dalam masyarakat, seperti hukum
adat dalam komunitas masyarakat adat. Oleh karena itu, model hukum yang
diembangkan lebih bercorak represif. Model hukum yang bercora represif paling
tidak memiliki ciri-ciri (1) hak-hak masyarakat dirumuskan secara ambigiuitas,
di satu sisi diakui keberadaannya, tetapi di sisi yang lain dibatasi secara mutlak dan bahkan
secara eksplisit diabaikan keberadaannya, (2) dicantumkannya tigma-stigma
kriminologis untuk menggusur keberadaan masyarakat atas sumberdaya alam dengan
predikat perambah hutan, penjarah hasil hutan, peladang liar, penambangan tanpa
izin, perumput liar, perusak hutan, dan lain-lain, dan (3) mengedepankan
penampilan aparat-aparat hukum dengan pendekatan sekuriti.[34]
Implikasi dari model
model hukum yang bercorak represif tersebut, menyebabkan terjadinya proses
viktimisasi dan dehumanisasi masyarakat adat, munculnya kelompok-kelompok
masyarakat yang tergusur, terabikan atau termarginalisasikan sebagai korban
kebijakan pembangunan dan di sisi lain, terjadi kerusakan semberdaya alam dan
lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang tidak
terkendali dalam mengeksploitasi sumberdaya alam untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi. Kebijakan dan sikap pemerintah dalam pembangunan menjadi sumber
penyebab kerusakan dan pencemaran sumberdaya alam tetapi juga secara sistematis
menghancurkan kebudayaan masyaraat adat yang kehidupannya sangat tergantung
kepada sumberdaya tersebut.[35]
Dalam konteks
pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam pemerintah cenderung
memberlakukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud hukum negara dan
satu-satunya hukum yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya
alam. Dengan demikian, pengaturan dalam bentuk hukum adat diabaikan dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan secara substansi maupun implementasi.
Jika dalam UU diatur mengenai hak-hak masyarakat adat atas pengelolaan
lingkungan hidup dan sumberdaya alam
selalu disertai tambahan kalimat “sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional atau undang-undang” atau “sepanjang masih ada dan diakui” dan
seterusnya. Sengan cara inilah pemerintah menjalankan politik hukum pengabaian
atas kemajemukan hukum yang secara nyata hidup dan berlaku dimasyarakat.[36]
Implikasi praktis
saling pengaruh antara hukum negara dan hukum lokal berupa masyarakat Pulau
Padang melakukan upaya-upaya untuk menghentikan PT. RAPP beroperasi di
daerahnya, upaya-upaya tersebut seperti demo didapan kantor kelurahan hingga DPRD dan mereka juga pergi ke Jakarta untuk
malakukan demo dan yang paling tragis mereka melakukan jahit mulut di dapan
istana Kepresidenan tentu saja hal itu bukan tanpa alasan mereka melakukan
semua tindakan tersebut untuk menyelamatkan lingkungan mereka dari kehancuran
dan juga mereka untuk mempertahankan hak-hak mereka sebagai masyarakat adat
setempat. Mereka menentut untuk mencabut SK. Menteri Kehutanan No.
327/Menhut-II/2009. Harapan kita semua, semoga pemerintah mendengarkan,
mendengarkan keluh kesah rakyatnya dan membela kepentingan rakyat kecil. Dan
semoga apresiasi atau keinginan masyarakat Pulau Padang terwujud.
BAB
III
KESIMPULAN
Interaksi atau
persinggungan antara hukum negara dan hukum lokal ternyata menimbulkan multi
konflik dan berkepanjangan. Sepertinya antara hukum negara dan hukum lokal tidak
dapat disejajarkan karena hukum negara tidak mengakomodir
kepentingan-kepentingan masyarakat adat tetapi hanya mengkepentingkan
kepentingan mereka sendiri (pemerintah) dan investor.
Implikasi teoritis
dan praktis dari saling pengaruh hukum negara dan hukum lokal. Implikasi teoritis adanya saling pengaruh dari kedua sistem hukum
tersebut adalah berupa interaksi atau persinggungan sistem hukum yang
mengakibatkan konflik-konfik pihak-pihak yang berkepentingan. Sedangkan secara
praktis yang muncul adalah masyarakat Pulau Padang melakukan aksi jahit mulut dan demonstrasi atau orasi, mendatangi
Kantor kelurahan hingga DPRD
Kepulauan Meranti, merka juga
ke DPR dan istana negara Jakarta dengan
tuntutan yaitu menuntut
pencabutan izin PT. RAPP di Pulau Padang.
[1]Rachmad Syafa’at Dkk,
“Negara,
Masyarakat Hukum
Adat Dan Kearifan Lokal”,
(Cet ; I, Malang: In-Trans Publishing, 2008), 1.
[3]Salam Adil Lestari, WALHI Riau, “Menyambut Milad ke 3 Kabupaten Kepulauan Meranti ,
Warga Pulau Padang melakukan Aksi jahit Mulut di Depan Gedung DPR-RI”, http://www.walhi.or.id,
(Diakses Pada Tanggal 18 Januari 2012).
[6]E.K.M
Masinambow, Hukum Dan Kemajemukan Budaya,
(Edisi; II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), 184.
[7]Anggara, “Pluralisme Hukum
Harus Diakui”, http://anggara.org/2006/07/04/pluralisme-hukum-harus-diakui/, (Diakses Pada tanggal 14 Januari 2012.
[16]Teguh Yuwono, “Konflik izin iuphhk-ht PT. RAAP Di Pulau Padang: Potret Buram Penataan
Ruang & Kelola Hutan Di Indonesia”, http://www.scaleup.or.id/publikasi-koran2012/090112-KONFLIK%20PULAU%20PADANG_%20Potret%20Buram%20Tata%20Ruang%20dan%20Tata%20Kelola%20Hutan%20di%20Indonesia.pdf, (Diakses
Pada Tanggal 19 Januari 2012).
[30]Serikat Tani Nasional, “Masyarakat
Pulau Padang Pertanyakan Pernyataan Angggota Komisi Iv Ppr Ri Ian Siagian”, http://riduanmeranti.blogspot.com/
(Diakases Pada Tanggal 17 Januari 2012).
[34]Rachmad
Syafa’at, “Advokasi
Dan Alternatif Penyelesaian Sengeketa”, (Malang: Surya Pena Gemilang, 2011),
288-289.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar