Kamis, 08 Maret 2012

PLURALISME HUKUM DALAM PERMASALAHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN (Kasus Perluasan Hutan Tanaman Industry Di Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti Prop. Riau)

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Krisis lingkungan global yang berlangsung sejak tiga dawarsa terakhir merupakan konsekuensi dari penggunaan pola-pola kegiatan pembangunan yang semata-mata diorientasikan untuk meraih pertumbuhan ekonomi. Kerusakan hutan tropis dan hutan alam yang terjadi di Negara-negara sedang berkembang teramasuk Indonesia, misalnya cenderung bersumber dari anutan paradigma pengusaan dan pemanfaatan sumber daya hutan yang didominasi Negara (state dominated forest control and management) semata-mata untuk mengajar pertumbuhan ekonomi.[1]
Konsekuensi yang muncul kemudian adalah selain secara nyata telah menimbulkan degradasi kuantitas maupun kualitas sumber daya hutan dan tanah yang menimbulkan perubahan iklim global. (ecological loss), juga karena coraknya yang menutup ruang bagi partisipasi masyarakat dan akses masyarakat terhadap hutan dan tanah sebagai sumber kehidupan (economical loss), dan menggusur serta mengabaikan variasi-variasi kebudayaan lokal yang mencerminkan kearifan lingkungan (ecological wisdom) masyarakat asli (indigeonous people) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sember daya hutan (social and cultur loss). Jadi, seperti kata Bodley kegiatan pembangunan yang didominasi negara, bercorak sentralistik, dan semata-mata diorientasikan untuk mengajar pertumbuhan ekonomi pada akhirnya hanya menimbulkan korban-korban pembangunan (victims of developnent).[2]
Seperti yang terjadi di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Riau pada saat ini, kemarin warga Pulau padang yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKM-PPP) melakukan Aksi Jahit Mulut di Depan Gerbang DPR-RI di Jakarta. Mereka melakukan aksi tersebut karena untuk menyelamatkan lingkungan, tanah dan hutan mereka dari kehancuran. Ancaman kerusakan lingkungan serta hilangnya akses warga terhadap hutan dan tanah sebagai sumber utama kehidupan  perlahan sudah mulai mereka rasakan sejak PT.RAPP mulai mendatangkan puluhan alat berat ke Pulau Padang.[3]
Konflik berkepanjangan di Pulau Padang yang meliputi 14 desa dipicu oleh keluarnya ijin perusahan hutan tanaman industry PT. RAPP tanggal 21 Juni 2009 melalui surat keputusan Menteri Kehutanan    No. 327/Menhut-II/2009 seluas 350.165 hektar, dimana yang masuk di Pulau Padang seluas 41.205 hektar. Konsesi RAPP di Pulau Padang ini sebagian besar tumpang tindih dengan tanah-tanah yang sudah menjadi hak masyarakat local, baik berupa perkebunan karet, sagu, maupun areal perladangan dan eks perladanangan dan perkebunan.[4]
Izin HTI tersebut akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan ekologi yang ada di wilayah sekitarnya. Karena akan terjadi dampak lingkungan yang sangat signifikan apabila benar-benar terjadi deforestasi diwilayah ini. Karena kawasan tersebut adalah kawasan gambut yang dilindungi. Sudah hal yang wajar akan terjadi bencana ekologi apabila lahan gambut tersebut di ekploitasi. Ditambah lagi dengan digantinya tanaman habitat asli dari daerah tersebut yang nantinya juga akan mempengaruhi keseimbangan dari lingkungan itu sendiri.[5]
Dengan mengacu konsep pluralisme atau kemajemukan hukum dari Sally F. Moore maka masing-masing pihak yang berkepentingan untuk menguasai lahan gambut tersebut di atas merupakan wujud nyata dari semi autonomous social field (lapangan sosial semi-otonom). Karakteristik lapangan sosial semi-otonom adalah kemampuan untuk menciptakan aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan sendiri, mendorong bahkan memaksa warganya mentaati aruran tersebut. Berbagai paksan tersebut dapat berupa sanksi yang bersifat ekonomi atau psikologi, menurut Griffitsh bahwa aturan, adat, simbol yang diciptakan sendiri rentan terhadap aturan-aturan, keputusan-keputusan dan kekuatan dari luar yang lebih besar dan mengelilinginya.[6]
Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Pluralisme hukum harus diakui sebagai sebuah realitas masyarakat.[7] Gagasan pluralisme hukum sebagai sebuah konsep, mulai marak pada dekade 1970an, bersamaaan dengan berseminya ilmu antropologi.
Griffitsh membagi pluralisme hukum atau kemajemukan hukum menjadi dua yaitu weeek legal pluralism (pluralisme hukum yang lemah) dan strong legal pluralism (pluralisme hukum yang kuat). Pluralisme hukum yang lemah mengandung makna bahwa suatu kemajemukan hukum yang berusaha melakukan penggabungan atau perujukan antara hukum adat dengan hukum negara. Pengertian pluralisme hukum yang kuat, yaitu adanya berbagai hukum yang berlaku di dalam lapangan sosial tertentu tanpa harus merujuk kepada hukum negara.[8]

B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah interaksi antara hukum negara dan hukum lokal?
2.    Bagaimana implikasi teoritis dan praktis dari kedua sistem hukum tersebut?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Kearifan Masyarakat Adat Pada Umumnya Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan
Inti permsalahan pengelolaan sumber daya alam adalah hubungan timbale balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Ilmu yang pempelajari hubungan timbale balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekologi. Konsep sentral dalam ekologi disebut ekosistem, yaitu suatu system ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbale balik antara makhluk hidup dengan alam lingkungannya.[9]
 Dalam interaksinya, manusia mengamati dan melakukan adaptasi serta memperoleh pengalaman, dan kemudian mempunyai wawasan tertentu tentang lingkungan hidupnya. Wawasan manusia terhadap lingkungannya inilah yang disebut dengan citra lingkungan, yang menggambarkan persepsi manusia tentang struktur, mekanisme, dan fungsi lingkungannya, juga interaksi dan adaptasi manusia termasuk respons dan reaksi manusia terhadap lingkungannya. Intinya, citra lingkungan memberi petunjuk tentang apa yang dipikirkan dan diharapkan manusia dari lingkungannya, baik secara alamiah maupun sebagai hasil tindakannya, dan tentang apa yang patut atau tidak patut dilakukan terhadap lingkungannya.[10]
Citra lingkungan masyarakat tradisional, seperti yang berkembang dalam masyarakat di negara-negara sedang berkembang lebih bercorak magis-kosmis. Menurut alam pikir magis-kosmis, manusia ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari alam lingkungannya, manusia dipengaruhi an mempengaruhi serta memiliki keterikatan dan ketergantungan dengan lingkungannya, sehingga wawasannya bersifat menyeluruh, holistik, dan komprehensif. Corak wawasan holistik membangun kesadaran bahwa kesinambungan hidup manusia sangat tergantung pada kelestarian fungsi dan berkelanjutan lungkungannya. Lingkungannya harus diperlakukan dan dimanfaatkan secara bijaksana dan bertanggungjawab sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya agar tidak menimbulkan malapetaka bagi kehidupan manusia. Hal ini karena hubungan manusia dengan lingkungannya bukanlah merupakan hubungan yang bersifat eksploitatif, melainkan interaksi yang saling mendukung dan memelihara dalam keserasian, keseimbangan dan keteraturan yang dinamis.[11]
Citra lingkungan seperti digambarkan di atas senada dengan citra lingkungan yang berpangkal dari alam pikir masyarakat hukum adat yang bercorak religio-magis. Masyarakat hukum adat mengidentifikasi dirinya sebagai bagian yang terintegrasi dengan alam semesta dalam hubungan yang saling terkait, tergantung, dan saling mempengaruhi. Yang paling utama adalah bagaimana menciptakan hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang, sehingga tercipta suasana harmoni antara manusia dengan lingkungannya. Jadi secara bersahaja dapat dikatakan bahwa citra lingkungan manusia Indonesia terbentuk dan terbina dari citra lingkungan masyarakat hukum adat.[12]
Secara empiris dapat dicermati bahwa citra lingungan masyarakat huum adat sering tampaknya tidak rasional, bersifat mistis, karena selain bertalian dengan ehidupan  di alam nyata juga erat aintannya dengan pemeliharaan keseimbangan hubungan dalam alam ghaib. Namun demiian, citra lingungan tradisional tidak  berarti menimbulkan dampa buruk bagi lingkungan hidup, tetapi justru menciptakan sikap dan perilau manusia yang serba religious dan magis terhadap lingkungannya, dalam bentuk pratik-prakti pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang bijaksana dan bertanggung jawab. Inilah esensi dan ekspresi dari kearifan masyaraat hokum adat terhadap lingkungan hidupnya.[13]
Kearifan lingkungan masyarakat adat pada hakikatnya berpangkal dari system nilai dan religi yangdianut dalam komunitasnya. Ajaran agama dan kepercayaan masyarakat local menjiwai dan member warna serta mempengaruhi citra lingkungannya dalam wujud sikap dan perilaku terhadap lingkungannya. Hakikat yang terkandung di dalamnya adalah memberi tuntutan kepada manusia untuk berperilaku yang serasi dan selaras dengan irama alam semesta, sehingga tercipta keseimbangan hubungan anatara manusia dengan alam lingkungannya.[14]    
Kendatipun sering tampak tidak rasional dan tidak logis, tetapi secara nayata perilaku teradap alam dengan pola-pola tindak yang bercora mistis dan magis tersebut menciptakan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup. Perilaku masyarakat yang menetapkan tempat-tempat tertentu di kawasan sungai, sumber air, danau, bukit, gunung, hutan, pohon besar, pantai, laut dan lain-lain sebagai tempat yang angker, keramat, sacral, merupakan strategi yang efektif untuk melindungi dan melestarikan sumberdaya alam hayati maupun non hayati dari tindakan negative manusia, sehingga fungsi hidro-orologis dari hutan, sungai, danau, sumber air dan penyedia sumber daya genetis bagi kehidupan sebsisten manusia tetap terjaga secara berkelanjutan.[15]

B.       Sekilas Tentang Pulau Padang
1.    Letak Geografis & Adminsistratif
Berdasarkan letak geografis, Pulau Padang terletak di sebelah timur Pulau Sumatera dipisahkan dengan Selat Panjang, dengan batas wilayah sebagai berikut:[16]
- Sebelah barat dengan Pulau Sumatera
- sebelah timur dengan Pulau Merbau,
- sebelah tenggara dengan Pulau Rantau, dan
- sebelah utara dengan Pulau Bengkalis.
Panjang Pulau Padang dari utara ke selatan adalah 60 km, lebarnya 29 km dan sebagian besar merupakan areal dengan topografi datar/landai dengan ketinggian antara 0 – 6 m dpl. Berdasarkan wilayah administratif pemerintahan, Pulau Padang termasuk wilayah Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, Propinsi Riau. Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan kabupaten termuda di propinsi Riau yang baru berdiri tahun 2009 sebagai pemekaran wilayah Kabupaten Bengkalis. Wilayah Kabupaten kepulauan Meranti terdiri dari 13 Pulau-pulau kecil yaitu pulau Tebingtinggi, Pulau Padang, Pulau Merbau, Pulau Ransang, Pulau Topang, Pulau Manggung, Pulau Panjang, Pulau Jadi, Pulau Setahun, Pulau Tiga, Pulau Baru, Pulau Paning, dan Pulau Dedap.[17]
Sebagai daerah Kepulauan, Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan daerah yang terdiri dari dataran-dataran rendah, dengan ketinggian rata-rata sekitar 1-6,4 meter di atas permukaan laut. Di daerah ini juga terdapat beberapa sungai dan tasik (danau) seperti Sungai Suir dan Tasik Nembus di Pulau Tebingtinggi; Sungai Merbau, Sungai Selat Akar dan Tasik Putri Puyu di Pulau Padang; Tasik Air Putih dan Tasik Penyagun di Pulau Rangsang. Gugusan daerah kepulauan ini terdapat beberapa pulau besar seperti Pulau Tebingtinggi (1.438,83 km²), Pulau Rangsang (922,10 km²), Pulau Padang (1.109 km2)[18]
Sebelum pemekaran, Kecamatan Merbau terdiri dari Pulau Padang, Pulau Merbau dan Pulau Dedap. Namun setelah pemekaran Kecamatan Merbau tinggal Pulau Padang dan Pulau Dedap. Pulau Padang terdiri dari 13 desa dan 1 kelurahan, dan semuanya termasuk wilayah Kecamatan Merbau. Sedangkan untuk wilayah Pulau Dedap (luas sekitar 2 ha) kondisinya tidak berpenghuni. Nama-nama desa yang terdapat di Pulau Padang dari sisi utara ke selatan adalah sebagai berikut: Tanjung Padang, Dedap, Kudap, Bandul, Selat Akar, Mengkopot, Mengkirau, Bagan Melibur, Kelurahan Teluk Belitung, Mekarsari, Pelantai, Meranti Bunting, Tanjung Kulim dan Lukit.[19]
2.    Kependudukan & Perekonomian
Pulau Padang sejak zaman Kolonial sudah dihuni oleh masyarakat. Hal ini terlihat pada Peta yang dibuat pada tahun 1933 oleh pemerintah Kolonial Belanda. Dalam peta tersebut telihat letak beberapa perkampungan yang sudah ada sejak dibuatnya peta tersebut seperti Tandjoeng Padang, Tg. Roembia, S. Laboe, S. Sialang Bandoeng, Meranti Boenting, Tandjoeng Kulim, Lukit, Gelam, Pelantai , S. Anak Kamal dan lain-lain. Dari waktu ke waktu desa Lukit dan desa-desa lain di Pulau Padang, sebagaimana telah disebut di atas semakin ramai didiami oleh masyarakat, baik penduduk asli pedalaman suku Akid/Sakai, Melayu, Suku Jawa, dan Cina.[20]
Jumlah penduduk Pulau Padang pada bulan Januari 2011 sebanyak 35.224 jiwa (atau 8206 KK)(Sumber: UPTD Kependudukan dan Catatan Sipil Kec. Merbau April 2011). Meskipun terdiri dari berbagai suku dan etnis antara lain; Melayu, Jawa, Akid/Sakai, Cina dan lain-lain namun masyarakat hidup dalam kerukunan antar sesama dan kedamaian meski berbeda suku dan agama.[21]
Berdasarkan mata pencahariannya, hampir secara keseluruhan sumber kehidupan mereka menggantungkan diri pada hasil hutan, perkebunan karet, sagu, pertanian/palawija, yang sudah dilakukan secara turun temurun sejak zaman kolonialisme Belanda. Bahkan untuk perkebunan sagu dan karet berkelanjutan sampai turun temurun beberapa generasi, dimana di sebagian tempat umur pohon karet sudah mencapai 80-100 tahun yang sampai saat ini masih berproduksi. Kecenderungan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah berkebun, bercocok tanam, mengembangkan perkebunan karet atau mencari kayu di hutan, nelayan, berdagang maupun buruh lepas. Sampai saat ini, masyarakat masih tetap bergantung hidup dengan hasil hutan dan lahan perkebunan, baik karet atau sagu. Hal ini dapat dibuktikan dengan bahan baku dasar perumahan warga yang mendiami Pulau Padang 95 persen berasal dari kayu hutan.[22]
3.    Kepemilikan Lahan Atau Tanah
Sejak dahulu kepemilikan lahan/tanah penduduk di Pulau Padang memiliki ciri khas tersendiri, yang sangat jauh berbeda dengan kepemilikan tanah di Pulau Jawa. Bagi masyarakat Pulau Padang kepemilikan cukup hanya dengan bermusyawarah antar sesama warga (kelompok) yang bersepakat mengambil sebuah kawasan dan kemudian cara penentuannya adalah dengan undian. Sampai saat ini pun mayoritas masyarakat tidak memiliki SKT kepala desa (alas Hak) untuk perumahan dan Kebun karet yang mereka miliki atau lahan-lahan baru yang mereka jadikan untuk perkebunan baru. Namun demikian secara turun temurun masing-masing mengakui bahwa ‘LAHAN/KEBUN’ tersebut dulunya miliknya si Polan, maka sampai hari ini pun tanah tersebut adalah milik ahli waris si Polan.[23]
4.    Struktur Tanah
Pulau Padang merupakan lahan/tanah rawa gambut dengan ketebalan gambut mencapai 6 meter lebih. Hasil uji pengeboran 4 kilometer dari bibir pantai tepatnya di RT 01 RW 03 dusun 03 desa Lukit. Dan pada jarak 5 kilo meter dari bibir pantai mencapai kedalaman gambut mencapai 5.8 meter.[24]
Kondisi di atas didukung data hasil penelitian Tim Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 2011, (dengan menggunakan pendekatan pengeboran tanah pada 70 titik koordinat), lahan gambut di Pulau Padang termasuk lahan gambut dalam dengan kedalaman > 3 meter, bahkan di sebagian besar lokasi pengeboran kedalaman lahan gambutnya > 6,5 meter (Karyanto, Oka dkk. 2011). Pulau Padang juga menjadi lokasi kajian utama disertasi Dr. Michael Allen Brady dari Universitas British Columbia (sekarang menjabat Executive Director GOFC-GOLD (Global Observation of Forest and Land Cover Dynamics (GOFC-GOLD) --GOFC-GOLD adalah Panel of the Global Terrestrial Observing System (GTOS), yang disponsori oleh FAO, UNESCO, WMO, ICSU and UNEP-, menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan Pulau Padang memiliki kedalaman gambut 9 – 12 meter.[25]
5.    Kondisi Biofisik & Hutan
Pulau Padang termasuk dalam formasi hutan gambut, dengan jenis-jenis pohon penyusun tegakannya antara lain: meranti rawa (Pharashorea sp), ramin (Gonystilus bancanus), punak (Tetramerista glabra), meranti batu (Shorea uliginosa), bintangur (Callophyllum sp), meranti (Shorea sp), dan geronggang (Cratoxylon arborences). Berkenaan dengan kondisi biofisik dan keanekaragaman biodiversity di Pulau Padang, Kementerian Kehutanan menetapkan sebagian kawasan Pulau Padang khususnya di bagian tengah Pulau Padang yang merupakan kubah gambut sebagai Suaka Margasatwa Tasik Tanjung Padang dengan luas 16.068 ha.[26]

C.      Interaksi Antara Hukum Negara Dan Hukum Lokal
1.      Hukum Negara
Sebagai hierarkis, perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan semberdaya alam perhutanan dapat disebutkan sebagai berikut: (1) UUD 19545, (2) UU no. 5 Tahun 1960 Tentang Pengelolaan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, (4) UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, (5) UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, (6) PP No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, (7) PP No. 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan, yang telah dirubah dengan PP No. 60 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hutan, (8) PP No. 27 tahun 1991 Tentang Rawa, (9)  PP No. 24 tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan, (10) PP No. 6 Tahun 1999 Tentang Pengusahaan Hutan Dan Pemungutan Hasil Hutan Ada Hutan Produksi (11) SK Menteri Kehutanan No. 327/Menhut-II/2009 Tentang Izin Perluasan Areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang.
Di dalam UUD 1945 ditetapkan keranga normatif tentang bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola. Ada tiga rambu yang ditetapkan. Pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasaran asas kekeluargaan. Kedua, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Ketiga, Negara mamiliki hak menguasai atas segenap semberdaya alam demi mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rambu-rambu normatif tersebut kemudian dijabarkan dalam UUPA, yang mengatur, bahwa hak menguasai dari negara memberi wewenang untuk: (1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan , penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan seganap sumberdaya alam, (2) menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan segenap sumberdaya alam, (3) mennentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang beraitan dengan segenap sumberdaya alam. Hak menguasai oleh negara tersebt diorientasikan untuk kesejahteraan rakyat dan pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada pemerintah daerah dan masyarakat hukum adat (pasal 2).[27]
Secara khusus norma pengelolaan sumberdaya alam perhutanan diatur dalam UU Perhutanan. Berdasarkan UU ini pengeloaan sumberdaya alam perhutanan diserahkan pengaturannya kepada pemerintah (menteri) untuk menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai: a) Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan c) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Yang dimkasud dengan Pengurusan hutan dalam UU perhutanan ini meliputi kegiatan penyelenggaraan: a. perencanaan kehutanan, b. pengelolaan hutan, c. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan d. pengawasan. Ditentukan pula, setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha pemanfaatan hutan produksi diwajibkan memiliki izin pemanfaatan hutan produksi.[28]
Pada Pasal 21 UU perhutanan disebutkan bahwa Pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan: a). Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, b). Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, c). Rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan d). Perlindungan hutan dan konservasi alam. Dan pada Pasal 23 disebutkan bahwa pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.[29]

 Ditentukan lebih lanjut, bahwa Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 728/Kpts-II/1998 tanggal 9 November 1998 pasal 4 huruf a. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa: Luas Maksimum dari Penguasahaan Hutan atau Hasil Penguashaan Hutan tanaman Industri baik unutk tujuan Plup maupun untuk tujuan nonplup dalam 1 (satu) Provinsi 100.000 (seratus ribu) hekter dan untuk seluruh Indonesia 400.000 (empat ratus ribu) hektar .[30]

Beberapa kesimpulan dapat ditarik dari segenap ketentuan perundang-undangan (hukum negara) tersebut di atas. Pertama, pengelolaan sember daya alam perhutan sudah bersifat tidak sentralistik yang dalam artian memberi peluang kepada masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Kedua secaea implisit sumberdaya alam perhutanan masih dianggap sebagai sumberdaya alam milik bersama, yang ditandai  dengan penggunaan lembaga perizinan dan belum dimungkinkannya untuk diberikan hak. 
2.      Hukum Adat Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Kepemilian Lahan Atau Tanah
Berdasarkan mata pencahariannya, hampir secara keseluruhan sumber kehidupan mereka menggantungkan diri pada hasil hutan, perkebunan karet, sagu, pertanian atau palawija, yang sudah dilakukan secara turun temurun sejak zaman kolonialisme Belanda. Bahkan untuk perkebunan sagu dan karet berkelanjutan sampai turun temurun beberapa generasi, dimana di sebagian tempat umur pohon karet sudah mencapai 80-100 tahun yang sampai saat ini masih berproduksi. Kecenderungan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah berkebun, bercocok tanam, mengembangkan perkebunan karet atau mencari kayu di hutan, nelayan, berdagang maupun buruh lepas. Sampai saat ini, masyarakat masih tetap bergantung hidup dengan hasil hutan dan lahan perkebunan, baik karet atau sagu. Hal ini dapat dibuktikan dengan bahan baku dasar perumahan warga yang mendiami Pulau Padang 95 persen berasal dari kayu hutan.[31]
Sejak dahulu kepemilikan lahan atau tanah penduduk di Pulau Padang memiliki ciri khas tersendiri, yang sangat jauh berbeda dengan kepemilikan tanah di Pulau Jawa. Bagi masyarakat Pulau Padang kepemilikan cukup hanya dengan bermusyawarah antar sesama warga (kelompok) yang bersepakat mengambil sebuah kawasan dan kemudian cara penentuannya adalah dengan undian. Sampai saat ini pun mayoritas masyarakat tidak memiliki SKT kepala desa (alas Hak) untuk perumahan dan Kebun karet yang mereka miliki atau lahan-lahan baru yang mereka jadikan untuk perkebunan baru. Namun demikian secara turun temurun masing-masing mengakui bahwa ‘LAHAN/KEBUN’ tersebut dulunya miliknya si Polan, maka sampai hari ini pun tanah tersebut adalah milik ahli waris si Polan.[32]
 Pada prinsipnya oara aparat pemerintah dan PT. Riau Andalan Pulp Paper (PT.RAPP) memilih dan menggunakan hukum begara (hukum tertulis), sedangkan rakyat akan memilih dan menggunakan hukum lokal (tidak tertulis/adat) dan juga menggunakan hukum tertulis PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 24 Ayat 2 PP tersebut menegaskan bahwa seseorang yang telah mengusai tanah selama 20 tahun atau lebih dengan iktikad baik dapat mengajukan pendaftaran tanahnya untuk me,peroleh hak milik atas tanah dengan bukti sertifikat.
Bentuk nyata interaksi antara hukum negara dan hukum lokal dalam kaitannya ini adalah konflik atau sengketa para pihak yang berkepentingan mengusai hutan alam dan kemudian di ubah fungsinya menjadi hutanaman industri. Konflik terjadi karena pertama, adanya SK Nomor 327/Menhut Tahun 2009. Lewat SK inilah izin operasional hutan tanaman industri (HTI) PT RAPP memiliki kewenangan untuk mengubah hutan dan perkebunan milik warga menjadi hutan akasia untuk kebutuhan industri. kedua, penyerobotan lahan warga. ketiga, SK HTI ini juga dikawatirkan akan berpengaruh besar terhadap kondisi lingkungan lahan gambut di salah satu pulau kecil terluar RI tersebut.

D.      Implikasi Teoritis Dan Praktis Dari Saling Pengaruh Hukum Negara Dan Hukum Lokal
Kekuatan berlakunya UU (hukum tertulis) dimasyarakat dapat dibedakan menjadi tiga yaitu berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Secara formal UU berlaku secaa yuridis sejak diundangkan dan dinyatakan berlaku dalam lembaran negara. Hanya saja belum tentu UU tersebut mempunyai kekuatan berlaku secara sosiologis, dalm arti ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat. Hukum lokal (hukum tidak tertulis/hukum adat) yang dipakai dasar hukum oleh warga desa setempat justru mempunyai kekuatan berlaku secara sosiologis karena benar-benar dilaksanakan dan ditaati oleh warga masyarakat. Implikasi teoritis saling pengaruh dari hukum negara (hukum tertulis) dan hukum lokal (hukum tidak tertulis/hukum adat) berupa interaksi atau persinggungan antara kedua sistem hukum tersebut yang menimbulkan onflik atau sengketa dari pihak-pihak yang berkepentingan kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam hutan alam. Masing-masing pihak mempunyai bargaining power untuk menjatuhkan pihak lain dengan menggunakan dasar hukumnya sendiri-sendiri. Secara teoritis, konflik atau sengketa dapat berdampak negatif adanya konfil atau sengketa antara lain terganggunya keserasian hubungan sosial, merusak tujuan bersama, menimbulkan kebencian dan kebingungan dan mengurangi kepercayaan serta membangkitkan emosi.[33]
Hukum negara yang secara sistematis mengekspresikan kekuasaan pemerintah kemudian mengabaikan dan menggusur keberadaan sistem lain yang hidup dalam masyarakat, seperti hukum adat dalam komunitas masyarakat adat. Oleh karena itu, model hukum yang diembangkan lebih bercorak represif. Model hukum yang bercora represif paling tidak memiliki ciri-ciri (1) hak-hak masyarakat dirumuskan secara ambigiuitas, di satu sisi diakui keberadaannya, tetapi di sisi  yang lain dibatasi secara mutlak dan bahkan secara eksplisit diabaikan keberadaannya, (2) dicantumkannya tigma-stigma kriminologis untuk menggusur keberadaan masyarakat atas sumberdaya alam dengan predikat perambah hutan, penjarah hasil hutan, peladang liar, penambangan tanpa izin, perumput liar, perusak hutan, dan lain-lain, dan (3) mengedepankan penampilan aparat-aparat hukum dengan pendekatan sekuriti.[34]
Implikasi dari model model hukum yang bercorak represif tersebut, menyebabkan terjadinya proses viktimisasi dan dehumanisasi masyarakat adat, munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang tergusur, terabikan atau termarginalisasikan sebagai korban kebijakan pembangunan dan di sisi lain, terjadi kerusakan semberdaya alam dan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi sumberdaya alam untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Kebijakan dan sikap pemerintah dalam pembangunan menjadi sumber penyebab kerusakan dan pencemaran sumberdaya alam tetapi juga secara sistematis menghancurkan kebudayaan masyaraat adat yang kehidupannya sangat tergantung kepada sumberdaya tersebut.[35]
Dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam pemerintah cenderung memberlakukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud hukum negara dan satu-satunya hukum yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Dengan demikian, pengaturan dalam bentuk hukum adat diabaikan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan secara substansi maupun implementasi. Jika dalam UU diatur mengenai hak-hak masyarakat adat atas pengelolaan lingkungan  hidup dan sumberdaya alam selalu disertai tambahan kalimat “sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional atau undang-undang” atau “sepanjang masih ada dan diakui” dan seterusnya. Sengan cara inilah pemerintah menjalankan politik hukum pengabaian atas kemajemukan hukum yang secara nyata hidup dan berlaku dimasyarakat.[36]
Implikasi praktis saling pengaruh antara hukum negara dan hukum lokal berupa masyarakat Pulau Padang melakukan upaya-upaya untuk menghentikan PT. RAPP beroperasi di daerahnya, upaya-upaya tersebut seperti demo didapan kantor kelurahan hingga  DPRD dan mereka juga pergi ke Jakarta untuk malakukan demo dan yang paling tragis mereka melakukan jahit mulut di dapan istana Kepresidenan tentu saja hal itu bukan tanpa alasan mereka melakukan semua tindakan tersebut untuk menyelamatkan lingkungan mereka dari kehancuran dan juga mereka untuk mempertahankan hak-hak mereka sebagai masyarakat adat setempat. Mereka menentut untuk mencabut SK. Menteri Kehutanan No. 327/Menhut-II/2009. Harapan kita semua, semoga pemerintah mendengarkan, mendengarkan keluh kesah rakyatnya dan membela kepentingan rakyat kecil. Dan semoga apresiasi atau keinginan masyarakat Pulau Padang terwujud.

BAB III
KESIMPULAN

Interaksi atau persinggungan antara hukum negara dan hukum lokal ternyata menimbulkan multi konflik dan berkepanjangan. Sepertinya antara hukum negara dan hukum lokal tidak dapat disejajarkan karena hukum negara tidak mengakomodir kepentingan-kepentingan masyarakat adat tetapi hanya mengkepentingkan kepentingan mereka sendiri (pemerintah) dan investor.
Implikasi teoritis dan praktis dari saling pengaruh hukum negara dan hukum lokal. Implikasi teoritis adanya saling pengaruh dari kedua sistem hukum tersebut adalah berupa interaksi atau persinggungan sistem hukum yang mengakibatkan konflik-konfik pihak-pihak yang berkepentingan. Sedangkan secara praktis yang muncul adalah masyarakat Pulau Padang melakukan aksi jahit mulut dan demonstrasi atau orasi, mendatangi Kantor kelurahan hingga DPRD Kepulauan Meranti, merka juga ke DPR dan istana negara Jakarta dengan tuntutan yaitu menuntut pencabutan izin PT. RAPP di Pulau Padang.


[1]Rachmad Syafa’at Dkk,  “Negara, Masyarakat Hukum Adat Dan Kearifan Lokal, (Cet ; I, Malang: In-Trans Publishing, 2008), 1.
[2] Ibied., 2.
[3]Salam Adil Lestari, WALHI Riau, “Menyambut Milad ke 3 Kabupaten Kepulauan Meranti , Warga Pulau Padang melakukan Aksi jahit Mulut di Depan Gedung DPR-RI, http://www.walhi.or.id, (Diakses Pada Tanggal 18 Januari 2012).
[4]Ibied.,
[5] Ibied.,
[6]E.K.M Masinambow,  Hukum Dan Kemajemukan Budaya, (Edisi; II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), 184.
[7]Anggara, “Pluralisme Hukum Harus Diakui”,  http://anggara.org/2006/07/04/pluralisme-hukum-harus-diakui/, (Diakses Pada tanggal 14 Januari 2012.
[8][8]E.K.M Masinambow, Op., Cit.
[9]Rachmad Syafa’at Dkk, Op., Cit. 3.
[10]Ibied., 4.
[11]Ibied., 5. 
[12]Ibied., 6.
[13]Ibied.,
[14]Ibied., 
[15]Ibied., 7. 
[16]Teguh Yuwono, “Konflik izin iuphhk-ht PT. RAAP Di Pulau Padang: Potret Buram Penataan Ruang & Kelola Hutan Di Indonesia”, http://www.scaleup.or.id/publikasi-koran2012/090112-KONFLIK%20PULAU%20PADANG_%20Potret%20Buram%20Tata%20Ruang%20dan%20Tata%20Kelola%20Hutan%20di%20Indonesia.pdf(Diakses Pada Tanggal 19 Januari 2012).
[17]Ibied.,  
[18]Ibied.,  
[19]Ibied.,  
[20]Ibied.,  
[21]Ibied.,  
[22]Ibied.,  
[23]Ibied.,  
[24]Ibied.,  
[25]Ibied.,  
[26]Ibied.,  
[27]E.K.M Masinambow, Op., Cit.  196-197.
[28]UU RI No. 41 Tahun 1999 Tentang  Kehutanan.
[29]Ibied., 
[31]Teguh Yuwono, Op., Cit.
[32]Ibied.,
[33]E.K.M Masinambow, Op., Cit. 191-192.
[34]Rachmad Syafa’at, “Advokasi Dan Alternatif Penyelesaian Sengeketa”, (Malang: Surya Pena Gemilang, 2011), 288-289.
[35]Ibied.,
[36]Ibied.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar