Kamis, 08 Maret 2012

PERANAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (APS) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MEREK DI LUAR PENGADILAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Seorang pedagang meletakan merek tertentu pada barang dagangnya sebenarnya hanya bertujuan untuk memberikan tanda saja. Ketika barang dagangnya dijual dipasaran bebas apalagi dalam jumlah besar dan bercampur dengan barang-barang yang sama dengan pedagang lain. Maka ia akan mudah mengenal barang dagangnya dengan melihat merek yang digunakannya. Pedagang yang bersangkutan dapat dengan mudah untuk menarik atau mengganti barang dagangnya yang dipandang sudah tidak layak dijual ke masyarakat.[1]
Setiap pedagang tidak hanya semata-mata menjual barang untuk meraih keuntungan melainkan barang yang dijual akan bermanfaat kepada para pembelinya. Sebaliknya seseorang mau membeli sebuah barang karena ia membutuhkan barang tersebut. Tidak mungkin ada orang membeli barang yang tidak berguna gunanya bagi dirinya karena sama saja membuang uang dengan percuma.[2]
Beberapa tahun belakangan, seringkali kita membaca dan melihat di media tentang sengketa hak kekayaan intelektual (HAKI) termasuk merek (trademark), yang tidak hanya sebatas pada perusahaan dalam negeri saja tetapi juga seringkali melibatkan perusahaan asing. Bisa jadi sengketa merek muncul lantaran beberapa hal, antara lain karena pengusaha tidak segera mendaftarkan mereknya sehingga dimanfaatkan pihak lain, kelalaian Ditjen HAKI karena tanpa sengaja mensahkan suatu pendaftaran merek yang mempunyai kemiripan dengan merek terdaftar lain, ataupun sengketa yang disebabkan adanya pihak beritikad tidak baik yang dengan sengaja mendaftarkan merek-merek terkenal atau menguntungkan, untuk tujuan mendompleng kepopuleran ataupun mencari kompensasi uang atau ganti rugi di kemudian hari.[3]
Merek sejatinya bukanlah sekadar ciri pembeda antara produk satu dengan yang lain. Bagi pengusaha, merek merupakan aset yang sangat bernilai karena merupakan ikon kesuksesan sejalan usahanya yang dibangun dengan segala keuletan termasuk biaya promosi. Kasus sengketa merek seringkali terjadi disebabkan adanya pihak tertentu yang mengambil kesempatan untuk mencari kompensasi atau uang ganti rugi dikemudian hari, dengan cara mendaftarkan merek-merek yang sudah dikenal umum masyarakat.[4]
Timbulnya sengketa merek kebanyakan dilatarbelakangi dengan adanya peristiwa peniruan atau menggunakan merek secara tidak sah milik pihak lain. Merek yang ditiru biasanya merek yang sudah dikenal di masyarakat karena barang yang deperdagangkan terlihal laku keras di pasaran.adapun motivasi perbuatan tersebut tidak lain untuk membonceng keterangan merek orang lain dan untuk memperoleh keuntungan secara tidak wajar.
 Kebanyakan suatu sengketa tidak mungkin dibiarkan menjadi berlarut-larut  oleh para pihaknya. pada umumnya para pihak yang bersengketa sejak timbulnya sengketa sudah bermaksud untuk mengakhirinya dengan jalan yang lebih efektif dan sama-sama mencari kesepakatan dan damai.
Mengamati kegiatan bisnis yang jumlah transaksinya ratusan setiap hari, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/ difference) antar pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat. Makin banyak dan  luas kegiatan perdagangan, frekuensi terjadi sengketa makin tinggi, hal ini berarti  sangat  mungkin makin banyak sengketa yang harus diselesaikan.[5]  
Membiarkan sengketa dagang  terlambat diselesaikan akan mengakibatkan perkembangan pembangunan tidak efesien, produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami kemandulan dan biaya produksi meningkat. Konsumen adalah pihak yang paling dirugikan di samping itu, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan sosial kaum pekerja juga terhambat. Kalaupun akhirnya hubungan bisnis ternyata menimbulkan sengketa diantara para pihak yang terlibat, peranan penasihat hukum, konsultan dalam menyelesaikan sengketa itu dihadapkan pada alternatif penyelesaian yang dirasakan paling menguntungkan kepentingan kliennya
Secara konvensional, penyelesaian sengketa biasanya  dilakukan secara Litigasi atau penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Dalam keadaan demikian, posisi para pihak yang bersengketa sangat antagonistis (saling berlawanan satu sama lain)  Penyelesaian sengketa bisnis model ini semestinya tidak direkomendasaikan. Kalaupun akhirnya ditempuh, penyelesaian itu semata-mata hanya sebagai jalan yang terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain dinilai tidak membuahkan hasil.
Dari latar belakang di atas, maka dalam makalah ini akan mengkaji masalah penyelesaiang sengketa merek melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa (APS) dalam penyelesaian sengketa merek di luar pengadilan, karena dengan alternatif ini dianggap lebih efisien. Pada umumnya menurut orang bisnis waktu adalah uang dan apabila dalam dunia bisnisnya atau perdangan produknya mengalami sengketa maka hal itu sangat merugikan baik secara materil dan immmateril.


B.       Rumusan Masalah
  1. Bagaimana peran lembaga alternatif penyelesaian sengketa (APS) dalam menyelesaiansengketa merek?
  2. Apa wewenang lembaga alternatif penyelesaian sengketa (APS) dalam menyelesaikan sengketa merek?




















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Dalam MenyelesaianSengketa Merek
Didalam menyelesaikan sengketa merek terdapat 3 (tiga) alternative diantaranya yaitu melalui lembaga penyelesaian sengketa, lembaga arbitrase dan lembaga pengadilan. namun dalam makalah ini khusus akan membahas mengenai lembaga alternative penyelesaian sengketa dalam menyelesaikan sengketa merek.
  Menurut UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada pasal 1 angka 10 menyebutkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa (APS) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.[6] Alternatif penyelesaian sengketa (APS) adalah seperangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan untuk:[7]
1.         Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan untuk keuntungan para pihak yang bersengketa
2.         Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi
3.         Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan
Jika disimak secara cermat aturan UU No. 30 Tahun 1999 menunjukkan bahwa lembaga APS sebagai lembaga perdamaian di luar pengadilan. Dahulu sebelum lahirnya UU tersebut lembaga perdamaian sudah dikenal cukup lama oleh masyarakat. Apabila ada sengketa, masyarakat terlebih dahulu melakukan penyelesaian dengan jalan perdamaian. Jika perdamaian tidak berhasil baru persoalannya diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga.[8]
Wakti itu dalam ada aturan tertulis tentang bagaimana tata cara melakukan usaha perdamaian. Masyarakat yang melakukan perdamaian dengan caranya sendiri dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Dalam musyawarah mereka yang bersengketa biasanya melakukan tawar-menawar (negosiasi) lebih dahulu dan jika mengalami jalan buntu baru meminta bantuan pihak ketiga seperti kepala adat atau kepada desa.  Pihak ketiga mengusahakan mereka sampai tercapai kesepakatan. Apabila kesepakatan sudah tercapai maka dibuatlah perdamaian dan menjadi sengketa yang mereka hadapi. Dengan adanya UU No. 30 Tahun 1999 yang mengatur lembaga APS, memberikan kesan APS merupakan lembaga baru. Padahal lembaga tersebut sebenarnya bukan lembaga baru, hanya saja aturan tertulinya baru dituangkan pada tahun 1999 ke dalam UU.[9]

1.    Prinsip Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
Alternatif penyelesaian sengketa (APS) dilandasi prinsip “pemecahan masalah dengan bekerjasama yang disertai dengan itikat baik kedua belah pihak” dikarenakan dua alasan:[10]
a.         Jenis perselisihan membutuhkan cara pendekatan yang berlainan dan para pihak yang bersengketa merancang prosedur / tata cara khusus untuk penyelesaian berdasarkan musyawarah.
b.         APS melibatkan partisipasi yang lebih intensif dan langsung dari kedua belah pihak dalam usaha penyelesaian sengketa.
UU No. 30  Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menghendaki adanya kehendak para pihak yang bersengketa dengan sungguh-sungguh menyelesaikan sengketanya dengan perdamaian. Dengan kesungguhan niat tersebut harus pula diikuti bahwa mereka telah menutup rapat0rapat untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan.[11]
Dalam UU tersebut memberikan syarat, seperti disebutkan dalam pasal 6 (1) mereka harus mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan sengketanya sendiri. Kedua belah pihak harus sama-sama beritikad baik untuk kepentingan tersebut. Untuk itikad baik datangnya harus dari dalam diri senidri.[12]
Itikad baik dan kesungguhan untuk menggunakan lembaga alternatif penyelesaian sengketa (APS) dalam menyelesaikan sengketa bukan hal yang mudah dan dapat dilakukan bagi seseorang yang sedang menghadapi sengketa. Memang terasa sulit untuk dapat diwujudkan oleh masing-masing pihak akan kesadarannya untuk meniadakan beda pendapat. Mungkin pada awalnya kedua hal di atas ada pada diri mereka. Namun pada umumnya kendala yang sering ditemukan, karena sifat orang cenderung merasa dirinya paling benar sendiri. Kemudian orang kurang atau tidak mau mendengar apa yang disampaikan pihak lawan dan lebih cenderung mudah menyalahkan orang lain. Ketika pihak yang bersengketa dapat bertemu untuk menyelesaikan sengketa, sering terjadi masing-masing pihak kurang menguasai diri dalam berdialog.  Jika keadaan kurang kondusif akan membuat pihak yang besengketa tidak dapat menunjukkan itikad baiknya dan tidak lagi tampak ada kesungguhan dalam usaha memperoleh perdamaian.[13]
Untuk dapat melaksanakan itikad baik dan kesungguhan dalam menyelesaikan sengketa masing-masing pihak dibutuhkan pula sikap mental serta kominikasi yang baik sehingga dapat tercipta suasana yang enak, ramah dan penuh kekeluargaan.[14]
2.    Bentuk Dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
a.    Bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
Bentuk-bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yaitu
1). Negosiasi adalah suatu proses berkomunikasi satu sama lain yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita ketika pihak lain menguasai yang kita inginkan.[15] Menurut Hartman negosiasi adalah Proses komunikasi antara dua pihak, yang masing-masing mempunyai tujuan dan sudut pandang mereka sendiri, yang berusaha mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak mengenai masalah yang sama. Menurut Casse, Negosiasi adalah proses dimana paling sedikit ada dua pihak dengan persepsi, kebutuhan, dan motivasi yang berbeda mencoba untuk bersepakat tentang suatu hal demi kepentingan bersama.[16]
2). Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang independent untuk bertindak sebagai mediator (penengah) dengan menggunakan berbagai prosedur, teknik, dan keterampilan untuk membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka melalui perundingan. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan yang mengikat, tetapi para pihaklah yang didorong untuk membuat keputusan. Oleh karena itu bentuk penyelesaiannya adalah akta perdamaian antara para pihak yang berselisih.[17] Menurut Kenny mediasi adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (accertable) Artinya para pihak yang bersengketa mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para rihak yang bersengketa dan membantu para pihak untuk mencapai penyenyelesaian.[18]
3). Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang independent untuk bertindak sebagai konsiliator (penengah) dengan menggunakan berbagai prosedur, teknik, dan keterampilan untuk membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka melalui perundingan. Konsiliator mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan yang bersifat anjuran. Oleh karena itu bentuk penyelesaiannya adalah putusan yang bersifat anjuran.[19]
4). Konsultasi adalah pertukaran pikiran untuk mendapatkan kesimpulan (nasihat, saran, dan sebagainya) yg sebaik-baiknya. Sedangkan istilah berkonsultasi ada dua yaitu  a). bertukar pikiran atau meminta pertimbangan dl memutuskan sesuatu (tentang tusaha dagang dan sebagainya), misalnya tokoh-tokoh bank berkumpul di Jakarta dan saling untuk memecahkan masalah perkreditan; b). meminta nasihat (tentang kesehatan, pendidikan, dan sebagainya).[20]

b.        Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
1).  Pertemuan Langsung
Prosedur dalam menyelesaiakan sengketa  yang harus ditempuh oleh para pihak menurut pasal 6 (2) UU No. 30 Tahun 1999 adalah mengadakan pertuan langsung diantara mereka. Istilah pertemuan langsung mengandung arti mereka sendiri yang harus bertemu secara face to facedisuatu tempat tertentu, pertemuan tidak boleh dilakukan melalui telepon atau teleconference, naupun kehadirannya diwakilkan oleh seorang kuasa. Maksud diaturnya pertemuan langsung supaya para pihak yang bersengketa sendiri yang menyelesaikan sengketanya.[21]
Dalam pertemuan awal para pihak para pihak dapat membeicarakan tempat dan waktu pertemuan tersebut yang dapat diadakan di rumah salah satu pihak, atau tempat yang netral misalnya disebuah restoran atau hotel terdekat.
2).  Melakukan Negosiasi
Jika pertemuan tersebut dapat dilangungkan, untuk dapat menuju tercapainya perdamaian cara yang digunakan adalah negosiasi. Para pihak yang bersengketa setelah bertemu di suatu tempat maka yang pertama dibicarakan adalah mengenai sengketa atau permasalahannya harus jelas lebih dahulu. Stelah itu baru jalan keluarnya dengan melakukan proses tawar-menawar untuk dapat mencari kesepakatan. Apabila penawaran yang berakhir tersebut dapat diterima, maka terjadilah kesepakatan di antara mereka. Sebaliknya apabila terjadi penolakan terhadap penawaran, maka sengketa masih dapay berlanjut dengan menggunakan alternative penyelesaian sengketa (APS).[22]
3).   Meminta Bantuan Pihak Ke Tiga
Jika proses negosiasi berjalan a lot, merasa kesulita untuk memperoleh titik temu, akan tetapi kedua belah pihak masih berharap sengketa dapat diselesaikan, maka berdasarkan pasal 6 (3) UU tersebut, dengan kesepakatan mereka dapat meminta bantuan kepada pihak ketiga. Yang dimaksud pihak ketiga adalah penasihat ahli dan mediator. Seorang ahli dibidang tertentu dapat diminta  untuk memberika nasihat-nasihat yang berhubungan dengan persoalan dengan sengketa. Sedangkan mediator untuk melakukan tugas mediasi guna menjembatani usaha perdamaian. Mereka bebas dalam mencari siapa saja yang dapat menjadi penasihat ahli jumlahnya dapat dicari lebih dari satu orang, sedangkan mediator cukup hanya seorang.[23]
Apabila hasil mediasi pada akhirnya kedua belah pihak dapat mencapai kesepakatan atau perdamaian, maka menjadi selesailah sengketa mereka karena apa yang diharapkan melalui lembaga APS sudah diperoleh dengan baik. Berdasarkan pasal 6 (7) UU No. 33 Tahun 1999 perdamaian tersebut harus dibuat secara tertulis. Ketentuan ini sejalan dengan pasal 1851 (2) KUHPerdata yang menegaskan bahwa perjanjian itu akan menjadi tidak sah apabila tidak dibuat secara tertulis. Keharusan secara tertulis karena untuk memudahkan pembuktian tentang adanya peristiwa perdamaian. Dengan menunjukkan akta perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak sudah sebagai alat bukti mengenai kejadian tersebut.[24]
Selain perjanjian perdamaian bersifat tertulis juga bersifat final artinya dengan tercapainya perdamaian maka sudah tidak ada lagi proses hukum lain untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Perjanjian perdamaian sudah tidak dapat lagi diubah oleh siapa pun termasuk para pihak yang bersengketa. Perjanjian perdamaian tinggal dilaksanakan.[25]
Selanjutnya perjanjian yang sudah dibuat secara tertulis wajib didaftarkan ke Pengadilan Negeri (PN). Kewajiban tersebut diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 pasal 6 (7). UU tersebut juga mewajibkan paling lama 30 hari setelah perjanjian tersebut ditandatangani kedua belah pihak harus sudah didaftarkan. Pendaftaran dimaksudkan hanya untuk kepentingan administrative saja. Pengadilan tidak ikut campur apa yang terjadi setelah  perjanjian perdamaian didaftarkan dan pelaksanaannya merupakan tanggung jawab para pihak itu sndiri. Bagi pengadilan dengan pendaftaran tersebut dapat digunakan sebagai  bahan untuk mengetahui berapa banyak sengketa yang dapat dilaksanakan melalui lembaga APS.[26]
Kemudian UU memberikan batasan bahwa dalam tempo maksimal 14 hari setelelah pihak yang diminta bantuannya tersebut bekerja dan ternyata mereka tidak berhasil mencapai kata sepakat atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka pihak yang bersengketa dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga APS untuk menunjuk seorang mediator. Jadi setelah dengan bantuan penasihat ahli maupun mediator masih gagal untuk mencapai perdamaian, maka prosesnya tidak berhenti sampai disitu melainkan para pihak mencari mediator lagi dengan bantuan pihak ketiga tersebut dalam rangka melanjutkan mediasinya.[27]
Jika perdamaian dengan melaui lembaga APS tidak mencapai suatu kesepakatan untuk berdamai, UU No. 30 tahun 1999 memberikan jalan keluar tetap mengesampingkan penyelesaian melalui pengadilan. Penyelesaiannya yang dikehendaki adalah melalui lembaga arbitrase. Dan apabila melalui lembaga arbitrase terdapat salah satu pihak yang susah untuk diajak bertemu dan membuat perjanjian arbitrase maka para pihak yang bersengketa dapat langsung mengajukan gugatan ke pengadilan.[28]

B.       Sengketa Merek Yang Dapat Dilaksanakan Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
Lembaga APS sifatnya umum karena bermacam ragam sengketa yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan menggunakan lembaga ini. Sengketa dibidang merek juga demikian dapat diselesaikan melalui lembaga APS. Meskipun demikian UU No. 15 Tahun 2001 hanya mengatur sengketa ganti rugi atas pelanggaran hak atas merek yang dapat diselesaikan melalui lembaga APS. [29]
Pasal 84 UU merek tersebut menyatakan, bahwa selaian penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud dalam bagian pertama Bab ini, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau alternative penyelesaian sengketa. Penyelesaian gugatan selain yang diatur di dalam bagaian pertama Bab ini (yaitu Bab XI) yang dimaksudkan adalah gugatan pembatalan pendaftaran merek dan penghapusan pendaftaran merek seperti yang diatur dalam Bab VII. Sedangkan persoalan yang diatur dalam bagian pertama Bab XI tentang masalah ganti rugi dan atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek akibat penggunaan merek yang dilakukan orang lain tanpa hak.[30]
Sengketa pembatalan pendaftaran merek yang dipermasalahkan adalah pemilik merek beritikad tidak baik, merek yang harus ditolak untuk didaftar. Sebagian besar sengketa merek yang terjadi di dalam praktik mempermasalahkan siapa yang berhak atas merek karena terdapat dua merek yang sama telah terdaftar di Dirjen HAKI mempunyai persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya. Sengketa seperti ini sulit untuk didamaikan karena harus ditentukan oleh pengadilan salah satu di antara para pihak yang bersengketa berhak atas merek. Dirjen HAKI dapat melakukan pembatalan pendaftaran merek apabila ada perintah dari pengadilan sebagaimana yang ditetapkan dalam putusan.[31]
Dalam masalah gugatan pihak ketiga harus diajukan melalui sidang pengadilan niaga, sehingga tidak mungkin dilakukan usaha perdamaian melalui APS, karena sengketa dalam masalah penghapuan pendaftaran merek tidak ada pelanggaran hak terhadap merek milik orang lain. Demikian pula dengan penghapusan atas permohonan pemilik merek sendiri dan atas prakarsa Dirjen HAKI, dalam hal ini tidak ada sengketa hak atas merek, melainkan sifatnya hanya masalah administratif saja, yang tidak diperlukan usaha perdamaian.[32]
Selanjutnya mengenai sengketa ganti rugi akibat pelanggaran hak atas merek UU No. 15 Tahun 2001 memberi kesempatan untuk menyelesaikan sengketa melalui lembaga APS karena terjadi sengketa antara pemilik merek dengan pihak lain yang menggunakan merek secara tidak sah. Permintaan ganti rugi tersebut dapat diikuti dengan perhatian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek.[33]

C.      Kelebihan Dan Kekurangan Lembaga APS
Setiap lembaga kemasyarakatan selalu tidak terlepas dari kelabihan dan kelemahannya, hal ini juga dimiliki oleh lembaga APS. Kelebihan lembaga APS antara lain adalah:[34]
a.    Sengketa dapat diselesaikan dengan lebih cepat, apabila para pihak mamiliki kesungguhan dan beritikad baik menyelesaikan sengketanya maka sengketa dapat berakhir paling lama 14 hari.
b.    Para pihak leluasa mengatur sendiri tata cara penyelesaian sengketa sampai tercapainya perdamaian.
c.    Para pihak saling menjamin kerahasian sengketa.
d.   Masing-masing pihak merasa puas atas hasil yang dicapai.
e.    Tidak dikenal adanya biaya perkara, kalaupun ada pengeluaran biaya untuk kepentingan bantuan mendatangkan penasihat ahli atau moderator dengan berdasarkan kesepakatan.
Adapun mengenai kekurangan-kekurangan lembaga APS antara lain yaitu:[35]
a.    Lembaga APS yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 masih belum memasyarakat karena kurang sosialisasi.
b.    Masih sulit diharapkan kedua belah pihak yang bersengketa konsisten dengan kesungguhan dan itikad baiknya menyelesaikan sengketa melalui lembaga APS.
c.    Masih sering terjadi usaha perdamaian melalui lembaga ini mengalami jalan buntu karena masing-masing pihak tetap bertahan pada pendapatnya semula.
d.   Tidak ada upaya paksa dalam pelaksanaan perdamaian sehingga pihak yang tidak mematuhi isi perdamaian dapat dengan mudah mengelak akan tanggung jawabnya.


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Peran lembaga alternatif penyelesaian sengketa (APS) dalam penyelesaiansengketa merek adalah sebagai lembaga perdamaian di luar pengadilan. Yang bertujuan untuk mencari suatu kesepakatan atau perdamaian dalam Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan untuk keuntungan para pihak yang bersengketa selain itu pula untuk  mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi dan mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan.
Wewenang lembaga alternatif penyelesaian sengketa (APS) dalam menyelesaikan sengketa merek adalah untuk sengketa ganti rugi akibat pelanggaran hak atas merek UU No. 15 Tahun 2001. Sedangakan untuk sengketa pembatalan pendaftaran merek yang dipermasalahkan adalah pemilik merek beritikad tidak baik, merek yang harus ditolak untuk didaftar. Itu menjadi wewenang pengadilan karena hal itu menyangkut siapa yang berhak atas merek dan Dirjen HAKI dapat melakukan pembatalan pendaftaran merek apabila ada perintah dari pengadilan sebagaimana yang ditetapkan dalam putusan.



[1]Gatot Supramono, “Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia”, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 1.
[2]Ibied.,

[3]Mesin Kasir, “Kasus sengketa merek Waroeng Podjok Vs Warung Pojok”,http://indocashregister.com/?s=Kasus+sengketa+merek+Waroeng+Podjok+Vs+Warung+Pojok+&x=11&y=14 ,  (Diakses Pada Tanggal 24 Juni 2011).

[4]Ibied., 

[5]MUC Learning Center, “Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis (Mediaton & Alternative Dispute Resolution)”, http://edcmucglobal.com/?do=event&id=468(Diakses Pada Tanggal 13 Juli 2011).

[6]Menurut UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

[7]Anggara, “Tentang Alterntif Penyelesaian Sengketa (APS)”,http://anggara.org/2007/09/17/tentang-alternatif-penyelesaian-sengketa-aps/,   (Diakses Pada Tanggal 13 Juli. 2011).


[8]Gatot Supramono,  Op, Cit., 53.
[9]Ibied.,
[10]Anggara,  Op, Cit.,
[11]Gatot Supramono, Op, Cit., 54.
[12]Ibied.,
[13]Ibied., 
[14]Ibied., 
[15] Anggara, Op, Cit.,
[16]Kenny, “Mediasi”, http://kennysiikebby.wordpress.com/2011/05/28/mediasi/(Diakses Pada Tanggal 13 Juli 2011).
[17]Anggara, Op, Cit.,  
[18]Kenny,  Op, Cit.,  
[19]Anggara, Op, Cit.,   
[20]Arti kata, “Konsultasi”, http://www.artikata.com/arti-336101-konsultasi.html,  (Diakses Pada Tanggal 14 Juli 2011).
[21]Gatot Supramono, Op, Cit., 55.
[22]Ibied., 56.
[23]Ibied.,
[24]Ibied., 59.
[25]Ibied.,  
[26] Ibied.,
[27]Ibied.,
[28]Ibied., 57.
[29]Ibied., 61.
[30]Ibied.,
[31]Ibied.,
[32]Ibied.,
[33]Ibied.,
[34]Ibied.,  60.
[35] Ibied., 61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar