Kamis, 08 Maret 2012

MENDOBRAK HUKUM POSITIF DENGAN HUKUM PROGRESIF



   Dalam bebarapa kasus terakhir yang terjadi di peradilan Indonesia terdapat beberapa kegagalan system hukum positif dalam menjawab rasa keadilan. Rasa Keadilan menjadi objek pertama dalam menegakan hukum. Dalam menjalankan sistem hukum hampir di seluruh negara yang ada di dunia ini tidak ada yang pernah puas dengan sistem hukum yang di gunakan maka dari itu perlunya suatu pembaharuan, perombakan dan pembelotan  dalam menegakkan hukum di dunia ini.
            Karena hukum positif telah gagal dalam menegakkan hukum secara benar yang berlandaskan keadilan Maka munculah suatu gagasan pemikiran baru yang disebut dengan hukum progresif. Pemikiran hukum progresif  merupakan suatu gagasan dari prof. Satjipto Raharjo yang awalnya beliau risau dengan sistem hukum di Indonesia, kebanyakan system peradilan di indonisia ini menganut penerapan hukum yang sesat yang tidak berlandaskan rasa keadilan dan hati nurani malah lebih mengedepankan kepastian-kepastian yang sudah ada sebelumnya. tujuan hukum pada awalnya yaitu menciptakan  keteraturan demi mencapai kebahagian pada umumnya.[1] Dasar filosofi dari hukum progresif yaitu hukum suatu institusi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.[2]
Hal ini senada dengan pendapat prof. Soetjipto Raharjo hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia.[3] Maka dari sini dapat di simpulkan bahwa apabila terjadi suatu permasalahan di dalam hukum maka hukumlah yang harus di rombak atau di tinjau bukan manusianya yang di paksakan untuk di masukkan kedalam skema hukum.
            Hukum bertugas melayani manusai bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum, ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut ideology hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat.[4]
            Hukum progresif mengajak para praktisi dan akademisi hukum untuk berpikir dengan menggunakan kecerdasan spiritual, berhati nurani dan berpikir secara luar biasa, berpikir secara luar biasa ini dapat di kiaskan dengan SQ (spritual quotient) yang mengandalkan cara-cara berpikir yang kreatif, mematahkan kovensi-kenvensi jadul dengan membuat aturan baru dan berani membebasakan diri dari doktrin-doktrin yang berlaku. Berbeda dengan cara berpikir yang biasa yaitu cara berpikir yang tidak meninggalkan dan tidak boleh memalingkan diri dari aturan yang sudah ditetapkan dan hal ini menggunakan cara berpikir IQ (intelektual quotient) yang bersifat kaku, rasional, logis, mekanistis dan berpaku pada peraturan semata. Dalam hal ini pemikiran hukum progresif tidak hanya memahami dan melihat sistem hukum secara normative tetapi melainkan memahami hukum secara empiris dan fleksibel.  
            Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistic-positivistik. Dengan ini hukum progresif lebih mengutamakan tujuan hukum daripada prosedurnya.
Hukum progresif mematahkan dan menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum, status quo disini lebih menerima normativitas dan sistem hukum yang ada tanpa melihat adanya suatu kelemahan dalam sistem hukum tersebut dan tidak ada usaha untuk memperbaikinya dan hanya menjalankan hukum seperti yang ada dalam peraturan saja.
Menurut Van doorn, sosiologi hukum Belanda mengutarakan secara lain hukum, katanya adalah skema yang dibuat untuk menata perilaku manusia, tetapai manusia itu sendiri cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya. Ini desebabkan factor pengalaman, pendidikan, tradisi dan lain-lain yang mempengaruhi dan membentuk perilakunya.[5] Maka dari sini pemikiran hukum progresif yaitu hukum merupakan prilaku manusia itu sendiri yang di pengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, tradisi. berbicara masalah pendidikan khususnya pendidikan hukum. Selama ini lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat terpinggirnya manusia dari perbuatannya di dalam hukum. Sembilan puluh persen lebih kurikulum pendidikan hukum kini mengajarkan tentang teks-teks hukum formal dan bagaimana mengoperasionalisasikannya.
Prof Satjipto menjawab pertanyaan banyak orang tentang apa yang dimaksud dengan hukum progresif. Secara ringkas beliau memberikan rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.[6]
Seperti yang di katakana oleh Prof. Satjipto berfikir secara progresif yaitu berfikir dengan menggunakan kecerdasan spiritual, cara menggunakan kecerdasan spiritual ini dapat menggunakan cara mencari makna dalam isi suatu peraturan yang sudah ada. Menjalankan hukum berbeda dengan membaca peraturan hukum secara utuh melainkan mencari dan menemukan makna dari nilai-nilai yang terkandung dalam peraturan hukum tersebut.  Apabila hanya membaca hukum secara utuh maka sama halnya menggunakan kecerdasan rasional saja. dan pada akhirnya hukum tidak akan berkembang atau maju dan tidak akan menciptakan rasa keadilan dan kebahagian dalam diri manusia.
 Beberapa bulan terakhir ini terdapat beberapa kasus yang terjadi di Indonesia misalnya beberapa contoh seperti kasus Prita yang diseret di meja hijau karena keluhannya dianggap pencemaran nama baik oleh RS Omni Internasional, kriminalisasi petani yang memperjuangkan tanah dari penyerobotan pemilik modal, dan akhir-akhir ini adalah kasus kriminalisasi yang dialami oleh Nenek Soetarti Soekarno (78th) dan Nenek Roesmini (77th) lantaran dianggap membangkang dari surat perintah pengosongan rumah oleh Perum Pegadaian, dan kasus pembunuhan Moch. Asrori yang pada awalnya David Eko Priyanto alias David dengan Imam Chambali alias Kemat yang menjadi tersangka dalam pembunuhan asrori ini. Dalam kasus-kasus tersebut hukum lebih nampakan sikap dan cara pandang hukum yang bersifat legal-positivistik
            Dalam kasus pembunuhan Asrori yang terjadi pada tanggal 22 september 2007, jaksa penuntut umum mendakwa david dan kemat melakukan kejahatan dalam pasal 340 KUHP jo 55 (1) , pasal 338 KUHP dan pasal 55 (1) KUHP. Dan pada perkembangannya dalam kusus ini hakim pengadilan negeri jombang yang pada waktu itu memutuskan bahwa terdakwa terbukti dengan sah dan menyakinkan bahwa mereka melakukan tindak pidana “pembunuhan berencana” yang mengakibatkan kematian terhadap korban yang bernama Moch. Asrori dan hukuman yang di jatuhkan berupa pidana penjara selama 17 tahun kepada terdakwa Kemat dan 12 tahun kepada terdakwa David. Kemudian pada tanggal 27 agustus 2008 Very Idham Haryansyah atau lebih dikenal dengan Ryan mengaku bahwa dialah yang membunuh Moch. Asrori.[7] Setelah adanya pengakuan Ryan maka terdakwa Devid dan Kemat di bebaskan tanpa syarat.
            Mereka mengaku bahwa selama proses penyidikan Devid dan Kemat mengalami penyiksaan yaitu mereka dipukuli dan ditodong pistol dan dipaksa untuk mengakui kesalahan yang tidak pernah mereka lakukan. Mereka tidak diperlakukan sebagaimana mestinya dalam proses penyidikan. Dalam hal ini berbeda dengan kasus-kasus yang kerap di lakukan oleh pejabat tinggi Negara yaitu kasus korupsi, penyidik sangat memberi perhatian kepada hak-hak tersangka.
            Dapat di ambil kesimpulan dari kasus pembunuhan asrori ini. Bahwa sistem peradilan yang seperti ini adalah sistem peradilan yang sesat yang tidak mengedepankan hati nurani dan tidak menggunakan kecerdasan spiritual. Dalam kasus yang dialami oleh Kemat dan David ini mencerminkan kegagalan dalam mencapai tujuan hukum yang adil dan tidak membahagiakan. 
            Para petindak hukum (hakim, jaksa dan polisi) yang menangani kasus pembunuhan Moch. Asrori bertindak dan berpikir secara biasa saja. mereka bertindak sesuai peraturan yang sudah ada, mereka mungkin saja tidak berani untuk mematahkan peraturan-peraturan lama dan tidak berani membuat paraturan-peraturan baru untuk mewujudkan tujuan hukum. Apakah mungkin hal ini disebabkan adanya pengaruh paradigma positivisme yang telah menjalar dan bermetamorfosa menjadi psitivisme hukum.
            Memang tidak mudah untuk mewujudkan penegakkan hukum yang dapat menghasilkan keadilan, hal ini perlu adanya kekuatan dan keberanian extra untuk mendobrak sistem hukum positif dan menegakkan sistem hukum secara progresif. kekuatan hukum progresif akan mencari berbagai cara untuk mematahkan kekuatan konvensi-konvensi lama. Maka dengan demikian konvensi dan sistem hukum yang ada bukan satu-satunya sebagai patokan.
Semangat kekuatan hukum progresif ini bertujuan untuk memberikan keadilan pada rakyat dirasakan sangat kuat, ini menyebabkan adanya sikap kritis terhadap system normative yang ada.
            Menurut pendapat Prof. Satjipto mengatakan bahwa menurut pandangan hukum progresif, hukum bukanlah produk akhir melainkan hukum itu harus selalu di bangun dan harus selalu ada perubahan ke arah yang lebih baik. Hukum merupakan lembaga yang bermoral kemanusiaan dan bukanlah suatu mesin yang tidak mempunyai hati nurani. Maka akhir dari tulisan ini berharap bahwa semoga hkum di Indonesia dapat menjadi lebih baik dan tegak, selalu ada perubahan dan perbaikan dari masa ke  masa guna untuk kebaikan semua umat manusia di dunia.


[1] Anrdre Ata Ujan, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 52.
[2]Faisal, Menerobos Positivism Hukum (Yogyakarta: Rangkang Ecucation, 2010), 73.
[3]Satjipto Raharjo, Membedah hokum Progresif (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008), 151.

[4]Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan MarkusY. Hage. “Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi”, ( Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), 212.
[5] Satjipto Raharjo, Op. Cit., 4.
[6]Iskandar, “Paradigma Hukum Progresif “, http://iskandarcentre.blogspot.com/2010/02/paradigma-hukum-progresif.html, (diakses pada 28 oktober 2010).


[7] Faisal, Op., Cit. 94-95.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar