Kamis, 08 Maret 2012

Kajian Teori Tentang Legal Feminis


a.  Sejarah Feminisme
1)   Feminis Di Zaman Rosulullah
Hampir 15 abad lalu, di Jazirah Arab yang didominasi laki-laki (patrilineal), wanita hampir tidak dianggap sama-sekali keberadaannya, Rasulullah saw membawa Revolusi yang mengangkat harkat dan martabat wanita, jauh sebelum emansipasi wanita dikampanyekan wanita di Barat.
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sangat menagangkat derajat kaum perempuan dibandingkan dengan priode pra Islam (jahiliah). Sebelum Islam, kaum laki-laki memperlakukan kaum perempuan sebagai harta milik mereka, dinikahi dan dicerai dengan seenaknya. Perempuan di jadikan objek praktik poligami. Dan anak-anak perempuan dibunuh ketika masih bayi. Pada umumnya perempuan tidak mempunyai hak suara dalam memilih pasangannya, dan ketika menikah mereka tidak memiliki jaminan financial, Karena mahar diberikan langsung kepada wali laki-laki mereka. Meskipun demikian, tampaknya beberapa perempuan pra-Islam melakukan poliandri serta memilih dan mencari suami-suami mereka. Perempuan tidak diharuskan berjilbab dan tidak pula dikucilkan, sebagian perempuan adalah para penyair dan sebagian yang lain bahkan ikut berperang bersama kaum laki-laki.[1]
Kedatangan Rasulullah pada zaman ini mengangkat derajat wanita yang sangat tidak dihargai pada waktu itu. Rasulullah dengan tegas menyampaikan bahwa perempuan adalah mahluk yang setara dengan dengan laki-laki dan tidak benar jika ada tindakan-tindakan yang mencoba untuk melakukan diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Syariat Islam menanggapai beberapa kasus ketidaksetaraan gender yang lebih mencolok pada masa pra-Islam. Contohnya, peraturan Islam melarang melakukan pembunuhan terhadap bayi perempuan, menghilangkan status perempuan sebagai barang, menekankan sifat kesepakatan, dan bukan pemilikan, pada perkawninan menegaskan bahwa istri dan bukan bapaknya yang secara langsung menerima mahar, menetapkan bahwa seorang perempuan berhak mengontrol dan menggunakan harta miliknya dan menggunakan nama semasa gadis setelah ia menikah, mendapat nafkah dari suaminya, mempunyai hak privasinya, melarang suaminya memata-matai atau menjebak istrinya, menjaga perempuan dari pengusiran setelah perceraian dengan mengharuskan suaminya member nafkah kepada bekas istrinya selama tiga kali putran menstruasi (hingga melahirkan apabila ia hamil).[2] Ada beberapa perubahan-perubahan yang dibawah oleh rasulullah dan sekaligus hal ini bisa menepis isu bahwa Islam adalah agama yang gender, yaitu:[3]
a.  Hakikah. Hakikah sebelum kedatangan Muhammad SAW. itu hanya dilakukan pada bayi lak-laki dan ini sangat terkait dengan kondisi masyarakat jahiliyah yang sangat paternalistik. Maka Beliau melakukan reformasi sistem hakikah yang sesuai dengan nilai-nilai islami yaitu dengan memberikan legalitas untuk melakukan hakikah bagi bayi perempuan atas nama kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
b. Kebiasaan menggendong bayi perempuan. Dikarenakan anak laki-laki Rasulullah tidak ada yang berumur panjang maka beliau sering nampak bermain dengan anak perempuannya di halaman rumah dan bagi masyarakat arab pada waktu itu hal tersebut merupakan kebiasaan yang sangat terlarang. Melihat Rasulullah menggendong bayinya di halaman rumahnya, segera seorang sahabat menegur bahwa itu bukan kebiasaan yang orang-orang lakukan dengan santai rasulullah menjawab bahwa tidak ada perbedaan bagi laki-laki dan perempuan di mata Allah. Dengan segera masyarakat waktu itu sadar bahwa selama ini mereka berasa dalam sistem yang sangat represif dan penuh kepentingan bagi mereka yang berkuasa (laki-laki).
c. Warisan. Sebagaimana disebutkan diatas bahwa warisan itu hanya milik kaum laki-laki yang bukan budak, laki-laki budak tidak masuk dalam hukum warisan ini. Setelah kedatangan Rasulullah, hukum tentang warisan tersebut dirubah dan memberikan wanita bagian dalam warisan. Ini sangat mengangkat derajat wanita karena pada waktu itu laki-laki arab seenaknya menikah dan meninggalkan istrinya tanpa warisan bagi mereka untuk bertahan hidup. Rasulullah membuka pemikiran masyarakat bahwa wanita juga berhak mendapatkan property dari suaminya sebagai tempat mereka tinggal. Hal ini dilakukan agar para Istri tidak terlantar suatu saat jika suami-suami mereka mencoba untuk berbuat curang.
d. Mahar. Dahulu mahar itu bukan hak untuk mempelai wanita melainkan hak bagi walinya. Rasulullah membuat undang-undang yang sampai saat ini dijalankan oleh masyarakat arab yaitu mahar untuk mempelai wanita. Mahar ini tidak seperti layaknya di Indonesia hanya terdiri atas seperangkat alat sholat dan cincin emas melainkan berupa kapital atau property agar mereka tidak terlantar kelak jika suami mereka meninggal atau berbuat curang. Inilah yang mengakibatkan laki-laki arab sangat sulit menikah dengan wanita arab karena mereka harus menyediakan segala keperluan pokok seperti rumah beserta isinya dan keperluan pokok lainnya. Namun untuk membantu warganya pemerintah arab melakukan subsidi untuk mahar bagi rakyatnya yang ingin menikah. Jadi sangat jelas bahwa dengan adanya aturan ini harkat dan martabat perempun ditinggikan oleh Islam tidak seperti yang dilakukan budaya Jahiliyah.
e. Meluruskan ajaran poligami. Hukum pologami pada waktu itu adalah boleh menikahi wanita tanpa adanya batasan dalam hal jumlah dan lebih parahnya lagi mereka tidak mendapatkan warisan apapun dari suami-suami mereka. Jadi mereka seenaknya menikah dan menceraikan istri-istri mereka. Tetapi pasca kedatangan rasulullah aturan tersebut direvisi dengan membatasi menjadi 4. Angka 4 dipilih karena pada waktu itu angka terbanyak yang disebutkan oleh orang arab apabila diminta untuk berhitung. Dalam hal ini rasulullah menekankan aspek keadilan dalam hal berpoligami dan jelas bahwa ajaran poligami itu murni buatan budaya jahiliyah rasulullah hanya menyempurnakan ajaran tersebut untuk keadilan bagi mereka. Langkah ini dilakukan rasulullah sebagai kohesi sosial yang damai tanpa harus merombak struktur masyarakat yang ada secara total karena perombakan total pasti akan mendapatkan perlawanan dari masyarkat sekitar. Rasulullah menekankan bahwa apabila tidak mampu untuk adil maka seseorang berhak menikahi satu wanita saja. Rasulullah juga melakukan poligami bukan untuk tujuan kebutuhan biologis. Tercatat bahwa lebih dari dua puluh wanita yang beliau nikahi dalam kurun waktu tujuh tahun hanya sebagai syarat perang untuk melapaskan perempuan-perempun tawanan perang dari perbudakan, setelah akad nikah Rasulullah tidak pernah lagi bertemu dengan wanita-wanita yang dinikahinya tersebut. Jadi ini bisa menepis isu lain bahwa Rasulullah itu senang berpoligami karena beliau menikah dengan wanita-wanita tersebut hanya sebagai syarat pembebasan mereka dari perbudakan tanpa diikuti oleh kebutuhan biologis.
f. Hijab. Semasa Rasulullah tidak ada hijab di mesjid nabawi sehingga laki-laki dan perempuan dengan bisa berdiskusi satu sama lain untuk membicarakan hal-hal yang menjadi isu hangat pada waktu itu. Disini juga kita lihat bagaimana rasulullah menbangun suasana dialogis dikalangan umantnya.
Ajaran Islam tidak secara skematis membedakan faktor perbedaan laki-laki dan perempuan tetapi lebih cenderung memandang kedua insan ini secara utuh, antara satu dengan lainnya secara biologis dan secara sosial saling membutuhkan. Boleh jadi, suatu peran dapat diperankan keduanya, tetapi dalam peran-peran tertentu hanya dapat diperankan oleh salah satunya. Yang jelas, Islam telah berperan besar dalam mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Kalau dalam masyarakat sebelumnya perempuan diperlakukan sebagai "barang", maka setelah Islam datang membawa ajarannya, perempuan terangkat menjadi manusia yang tak berbeda dengan laki-laki.[4]
Dalam gerakan Islam modern, salah satu aspek yang berusaha ditonjolkan adalah pemahaman baru terhadap ajaran Islam yang berkaitan dengan kaum perempuan. Rifa’at at-Tahthawi menyatakan bahwa kaum perempuan mesti memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki. Mereka harus memperoleh pendidikan agar dapat menjadi isteri yang baik dan menjadi partner suami dalam kehidupan intelek dan sosial, juga agar dapat bekerja seperti laki-laki sesuai dengan batas-batas kesanggupan dan pembawaannya. Ide ini dibawa lebih lanjut oleh Qasim Amin yang menulis buku Tahrîr al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadîdah yang di dalamnya dia menekankan emansipasi perempuan dalam Islam. Senada dengan hal tersebut, Muhammad Iqbal menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan pada masa sekarang sudah harus disejajarkan.

2)   Feminis Di Eropa
Sebelum membahas lebih jauh tentang teori legal feminist, dan mengetahui apa saja yang berada dalam lingkup teori legal femisnist, langkah awal dari semua itu adalah mengetahui tentang sejarah feminis Disini akan Memaparkan tentang sejarah dari feminisme. Gerakan feminist dalam hukum atau biasa disebut dengan beberapa sebutan seperti feminist legal theory (FLT), feminist jurisprudence, women and the law, feminist analysis of law, feminist perspectives on law, dan feminist legal scholarship.  muncul sekitar akhir tahun 1970-an atau awal 1980-an. Beberapa dari pergerakan ini (tidak semuanya) berakar atau berkaitan dengan gerakan hukum kritis (critical legal studies movement), namun segian besar gerakan ini berada di luar jalur tradisi-tradisi critical legal studies (CLS) dan bahkan pada kenyataannya dikembangkan justru sebagai suatu respon kritis terhadap pergerakan ini. [5] 
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki di hadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.[6]
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menpandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. [7]
 Konstruksi bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki, disebarkan juga oleh agama-agama besar yang kita kenal, misalnya dalam ungkapan “perempuan terbuat dari tulang rusuk laki-laki”, “ laki-laki lebih berkuasa dari perempuan”, “ pada masa dewasa seorang perempuan harus selalu ada di bawah kekuasaan laki-laki”.[8] Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk situasi. Di lingkungan agama Kristen terjadi praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.[9]
Pergerakan di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari.[10]
Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan, diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).
Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan.[11]

 

3)   Perkembangan Feminis Di Amerika Serikat

Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang[12]
Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.[13]
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.. Pada 1975, "Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia. [14]
Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.[15]
Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science). Terdapat beberapa kondisi yang menyebabakan lahirnya teori legal feminist yaitu: pertama; pada abad ke-19 sejumlah usaha di lakukan untuk memperoleh hak-hak dalam hukum dan menghasilkan tulisan-tulisan di berbagai bidang studi yang kemudian memabawa pengaruh kepada para sarjana hukum.  Kedua; pada tahun 1960-an terdapat banyak perempuan yang memasuki pendidikan sekolah hokum dan juga dalam hal prakteknya. Ketiga; banyak kasus-kasus atau persengketaan yang di alami oleh kaum perempuan yang berujung di pengadilan dan berhasil di selesaikan.[16]

b.  Tema-tema Umum
Ada beberapa tema yang biasanya di bahas dalam teori legal feminist di antaranya adalah:
1.    Kritik Terhadap Sejarah
Menurut kaum feminist, para ahli sejarah menulis sejarah dari sutud pandang laki-laki dan meniadakan sudut pandang perempuan. Mereka tidak mengarapkan kaum feminist ikut berkecimpung dalam menyusun struktur masyarakat, menyusun sejarah dan membiarkan bagaimana perempuan hidup dalam kehidupannya sendiri.
Inklusif perempuan dalam penulisan sejarah mulai pada tahun 1970an. Tulisan ini berusaha keras menunjukkan.[17]
a)    Kesalahan dalam sejarah yang meniadakan pandangan dari perempuan. Mereka menentang periodisasi tradisional sejarah, misalnya periode Renaissance secara tradisional dianggap suatu periode dari kelahiran kembali peradaban barat, bahkan ketika para perempuan dibakar kerena tuduhan tukang teluh, dijinakkan sebagai istri kaum borjuis, dan dikeluarkan dari formulasi liberty-equality-fraternity revolusi prancis.
b)   Mereka menunjukan bahwa sejarah yang ditulis laki-laki telah menciptakan bias androsentris dalam konsepsi kita mengenai sifat manusia, potensi gende, dan susunan masyarakat.
2.    Kritik Terhadap Yurisprudensi Patriarkhi
Sarjana feminist merasa bahwa aliran pokok dari yurisprudensi adalah bersifat patriarki. Mereka memandang bahwa doktrin hukum mendefinisi kaum laki-laki dan melindunginnya, tidak melindungi perempuan.  Mereka berpendapat bahwa dengan menghiraukan perbedaan gender maka gagasan pokok hokum akan mengekalkan kekuasaan patriarki.
Sarjana feminist menunjukkan bahwa doktrin hukum, praktek hukum dan bahaa hokum menunjukkan adanya sexism. mereka berpendapat bahwa patriarki memiliki kekuasaan untuk memberi penamaan dan kategori mengenai sesuatu yang bernilai atau tidak bernilai, dihitung atau tidak, dicatat atau tidak, dan bahasa yang diciptakan oleh laki-laki mengenai laki-laki. Kemudian apa yang di ciptakan tersebut menjadi norma. Akibatnya selanjutnya adalah kecenderungan pembelaan hukum yang mencari aturan-aturan yang kemprehensif berdasarkan norma tersebut.[18]
Feminis jurisprudence mencoba secara fundamental menentang beberapa asumsi penting dalam teori hukum konvensional dan juga beberapa kebijakasanaan konvensional dalam penelitian hokum kritis. Kaum feminis sangat dipengaruhi oleh pemikiran feminis dalam filsafat, psikoanalisis, semiotic, sejarah, antropologi, postmodernisme, kritik sastra dan teori politik. Tetapi lebih jauh dan mendasar gerakan ini lebih melihat dan mengambil dari pengalaman-pengalaman yang dialami kaum wanita.[19]
3.    Kririk Terhadap determinasi biologis
Sarjana feminist menolak adanya deteminasi biologis, karena hal tersebut mempunyai pengaruh dalam membatasi kekuasaan perempuan dan segala opsi mereka. Para kaum feminist berkeyakinan bahwa gender diciptakan secara social bukan secara biologis. Jenis kelamin menentukan problem misalnya genitalia, moral dan bentuk-bentuk social yang diberikan kepada masing-masing gender.
4.    Adopsi dialektika jenis kelamin atau gender
sarjana feminist menolak gaya patriarkhis yang mendua yang membedakan jenis kelamin dan gender. Mereka menunjukkan adanya hubungan dialektika di antara keduanya, dan interaksi di antara keduanya. Keduanya tidak tergantung satu sama lain secara absolute tetapi mereka berpendapat bahwa dikotomi patriarkhis mencegah kita untuk melihat adanya inter hubungan ini.[20]
5.    Bebrapa komitmen bersama
Agenda penelitian para sarjana feminist bermacam-macam, tetapi dalam konteks ini merka pemikiran beberapa komitmen bersama yaitu:
a)        Secara politis, mereka mencari persamaan antara laki-laki dan perempuan
b)        Secara analitis, mereka membuat gender sebagai kategori analisis untuk tujuan merekonstrusi praktek hukum yang meniadakan kepentingan perempuan.
c)        Secara metodologis, mereka menggunakan pengalaman-pengalaman perempuan untuk mendeskripsikan dunia dan menunjukkan transformasi yang dibutuhkan. Mereka terutama yang mendasarkan pada wacana pengalaman untuk menganalisis persoalan-persoalan yang menjadi perhatian mereka seperti hierarki gender, objektifikasi seksual, dan struktur social. Mereka menggunakan metedo tersebut untuk menemukan seksualitas yang otentik, dan realitas kondisi perempuan. Namun, tulisan-tulisan mereka terkadang mencerminkan kekhawatiran apakah metode ini tidak terlalu indivisualistik.[21]

c.      Metodologi Feminist
Ada beberapa aspek metodologi feminist di antaranya meliputi:
1.    Bersifat Pengalaman
Metode ini mengistimewakan suatu “ pemahaman praktisi feminist” yang dapt mencakup semua aspek logika deduktif, tetapi mempertimbangkan logika pengalaman-pengalaman konkrit dan unik yang dimensi, tetapi memandang mereka “ sebagai dilema dengan sudut pandang, kontradiksi dan ketidakkonsistenan yang beragam”. Pendekatan ini bertentangan dikotomisasi yang diberlakukan oleh pengadilan yaitu pertanyaan ya atau tidak dalam proses persidangan. Metode ini sifatnya kontekstual, tetapi situasi yang baru menampakkan kemungkinan yang lebih besar untuk pemahaman serta “integrasi dan rekonsilias imaginative”.[22]
Dalam metode ini pengalaman sebagi basic ilmu pengetahuan untuk menganalisis dari struktur social, hierarki gender dan objektivitas seksual. Analisis ini  bersifat pengalaman dari pengalaman-pengalaman yang konkrit sebagai pokok kajian.
2.    Membangkitkan Kesadaran
Munculnya kesdaran tujuannya adalah untuk individual dan pemberdayaan kolektif, bukan untuk dendam pribadi. Sekali lagi, kesadaran ini didapat denagn integrai pengalaman kongkrit dari yang tertekan, refleksi diri dan teori. Selalu sensitive untuk mengadakan bentuk-bentuk kesadaran dalam eksistensi.[23]
Secara esensial pembangkitan kesadaran tercapai denagan cara kaum perempuan saling mendengarkan cerita-cerita pribadi di antara sesamanya, cerita-cerita yang tenggelam dalam wacana yang terus menerus menjadi dominan. Ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman perempuan melalui pembangikatan kesadaran, mempromosikan gambaran mengenai luasnya pengalaman perempuan, dan pemantapan konsekuensi yang nyata berkaitan dengan makna kehidupan social.[24]
Pembangkitan kesadaran di antara  perempuan juga memiliki konsekuensi membawa ketiksetujuan di antara mereka mengenai masalah-masalah hetroseksualitas, keibuan, pornigrafi, ibu pengganti, wajib militer dan sebagainya. Metode ini kadang di kritisi sebagai mengintimidasi perempuan kedalam posisi yang tepat secara politis.[25]
3.    Menanyakan Masalah Perempuan
Metode ini mempertanyakan probelematika yang di alami oleh perempuan mulai dari mengidentifikasi komponen genderdan implikasinya dari konvensi hokum yang dinyatakan netral dan prakteknya.  Metode ini untuk menggali impliksi gender dilakukan dengan meneliti bagaianaka hokum yanga ada lebih menyukai nilai laki-laki ketimbang nila-nilai perempuan, dan bagaimanakah hukum tersebut dapat di perbaiki agar dapat menghapus kerugian pada perempuan.
Metode ini membuat perbedaan dengan kata lain menajamkan materi, ia menyediakan suatumetode interpretasi yang tidak menerima status quo dan mengungkapkan bais yang tersembunyi dalam hokum.[26] “Bertanya pada perempuan”. Yaitu, apa yang perlu ditanyakan seringkali adalah suara bisu (silence), suara yang diasingkan. Menurut Barlett, hal ini menyebabkan “dengan melihat permukaan hokum untuk mengidentifikasikan implikasi aturan gender dan asumsi yang tidak mengekalkan subordinasi wanita.[27]
4.    Alasan Praktis Feminist
Secara substasnsial metode ini mengurangi setiap situasi yang tidak dapat di bah, dan memperlakukannya sebagai pertanyaan terbuka: maslah-masalah mengenai apa, mengapa dan bagaimana sesuatu itu seharusnya dilakukan dalam konteks yang khusus. Metode tersebut percaya bahwa masalah-masalahnya bukan konflik dikotomis yang dapat dipecahkan melalui dipilihnya satu prinsip ketimbang prinsip lain, melainkan problem-problem tersebut dicirikan sebagai bersifat delematis.[28]
Pendekatan ini tidak menolak peraturan, namun perlu mandamaikan peraturan-peraturan dengan kemungkinan fakta-fakta baru, yang berbeda dengan metode “reducing contingency to rules”. Dalam prosedur ini, hal itu dibawa ke dalam woman question untuk menentang peraturan-peraturan yang seolah-olah bicara secara normatif bagi keseluruhan komunitas, tetapi sesungguhnya menyembunyikan pengabaian gender. Pemahaman konteks digunakan untuk mengekspos ketiakadilan yang tidak menarik perhatian yang lain.[29]

d.      Aliran-aliran Feminist
Ada beberapa pemikiran yang bisa di kelompokkan sebagai  feminist jurisprudensi di antaranya adalah sebag berikut di bawah ini:
1)      Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia demikian menurut mereka punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.[30]

2)      Feminisme Radikal

Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".

Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).[31] Bagitu juga halnya perrmpuan yang menjadi pengguna dan pengedar narkotika karana disebabkan kemiskinan, ketidaktahuan, hubungan kekuasaan yang timpang antara perempuan serta laki-laki, budaya dan lainnya, merupakan faktor yang ditengarai menyebabkan perempuan terlibat dalam jaringan peredaran narkotika. Perempuan yang dijadikan sebagai salah satu alat untuk pengedaran narkotika.

3)    Feminisme Post Modern

Ide Posmo menurut anggapan mereka  ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.[32]
Pendekatan ini menklaim bahwa tidak ada satu pu teori yang tepat untuk semua perempuan, dan tidak ada satu tujuan pun yang baik untuk semua pereman. Perempuan memiliki manifestasi yang beragam ganda. Deminitas dan maskulinitas berkaitan dengan wacana yang lebih luas menegenai gender, bukan merupakan wacana yang tunggal yang dibatasi. Kategori perempuan adalah suatu identitas yang tidak mungkin dibatasi. Pendekatan ini tidal berfokus pada kategori yang disebut perempuan. Melainkan berfokus pada realitas perempuan yang disituasikan.
Yang ditekan pada pendekatan ini adalah solusi praktis bagi situasi konkret. Pendekatan ini mengkalaim adanya keutungan bila menghindari esensialisme karena penolakkannya terhadap kategori maupun termasuk ras atau gender. Ia menunjuk pada konteks dan berpendapat bahwa kategori semacam itu dapat bersifat determinative hanya dalam konteks tertentu.[33]

4)    Feminisme Marxis

Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini, status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.[34]
Kaum ini percaya bahwa eksistensi social menentukan kesadaran.  Komentar bahwa “pekerjaan perempuan tidak pernah selesai “ bagi feminis marxis adalah lebih dari sekedar edorisme. Kementar itu merupakan gambaran dari sifat pekerjaan perempuan. Dengan selalu siap bertugas, seorang perempuan membentuk konsepsi dirinya yang tidak akan dimilikinya jika perannya dalam keluarga dan di tempat kerja tidak menahannya untuk tetap subordinat terhadap laki-lak, baik secara social maupun ekonomi. Karena itu, kaum ini percaya untuk memahami mengapa perempuan teropresi, sementara laki-laki tidak, kita perlu menganalisis hubungan antara status pekerjaan perempuan dan citra diri perempuan.[35]
Dari segi politik marxis juga menawarkan bagi feminis marxis suatu analisis kelas yang memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari kekuatan yang mengopresinya. Bahkan, sebagian besar pemikiran marxis ditujukan untuk membuat cetak biru agar membimbing pekerja, laki-laki atau perempuan, bersamaan dengan usaha mereka untuk membentuk diri sebagai suatu kelas, untuk kemudian memberikan sumbangan terhadap transisi dari kapitalisme ke sosialisme, dan akhirnya untuk mencapai komunitas yang utuh dan kebebasan yang penuh.[36]

5)    Feminisme sosialis

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.[37]

6)    Feminisme postkolonial

Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan perempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”[38]

7)    Feminisme Psikoanalisis dan Gender

Kaum feminis psikoanalisis dan gender percaya bahwa penjelasan fundamental atas cara bertindak perempuan berakar dalam psike perempuan, terutama dalam cara pikir perempuan. Berdasarkan konsep Freud, seperti tahapan Oedipal dan kompleks Oedipus, mereka mengklaim bahwa ketidaksetaraam gender berakar dari rangkaian pengalaman pada masa kanak-kanak awal mereka, yang mengakibatkan bukan saja cara laki-laki memanadang dirinya sebagai maskulin, dan memandang perempuan dirinya sebagai feminine, melainkan juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas adalah labih baik daripada feminitas. Berhipotesis bahwa dalam masyarakat nonpatriarkal, maskulinitas dan feminitas akan dikonstruksi secara berbeda dan dihargai secara setara, feminis psikoanalisis merekomendasikan bahwa kita harus bergerak maju menuju masyarakat androgin, yang di dalam masyarakat ini manusia yang seutuhnya merupakan capuran sifat-sifat positif feminine dan maskulin.
Tidak seperti feminis psikoanalisis, feminis gender (kadang-kadang diacu sebagai feminis cultural) cenderung berpendapat bahwa mungkin memang ada perbedaan biologis dan juga perbedaan psikologis, atau penjelasan cultural atas maskulinitas laki-laki dan feminitas perempuan. Mereka juga menekankan bahwa nilai-nilai yang secara tradisional dihubungkan dengan perempuan (kelembutan, kesederhanaan, rasa malu, sifat mendukung, emapati, kehati-hatian, sifat merawat, intuisi, sensivitas dan ketidakegoisan) secara moral lebih baik daripada kelebihan nilai-nilai yang secara tradisioanl dihubungkan dengan laki-laki (kekerasan hati, ambisi, keberanian, kemandirian, ketegasan, ketahanan fisik, rasionalias, dan kendali emosi). Karena itu, feminis gender menyimpulkan bahwa perempuan harus berpegang teguh pada feminitas, dam \bahwa laki-laki harus melepaskan, paling tidak, bentuk ekstrim dari maskulinitasnya. Menurut mereka, suatu etika kepedulian (ethics of care) feminis harus menggantikan etika keadilan (ethics of justice) maskulin.[39]
Oleh sebab itu, bila perempuan melakukan tindakan berbeda dengan apa yang di harapkan masyarakat , mereka dicap sebagai aneh abnormal, bertingkah laku menyimpang. Di Indonesia, misalnya perempuan yang yang bias merokok sering dianggap bukan perempuan baik-baik. Berbeda halnya dengan laki-laki, merokok justru dianggap ebagi symbol maskulinitas. Padahal dalam segi kesehatan sama-sama merugikan dan mendatangkan bahaya baik perempuan dan laki-laki. Perempuan di ranah public dikontrol sedemikian rupa sehingga dihadapkan pada kesenjangan akses pada social space and recreation. Untu kasus perempuan sebagi penyalahgunaan dan tindak pidana narkoba, selain ditinjau dari aspek hokum merupakan tindak criminal secara social perempuan, akan mendapatkan stigmatisasi yang lebih keras ketimbang laki-laki.[40]
Feminis gender atau cultural ini berfokus pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan justru mensyukuri adanya perbedaan tersebut.  Ada beberapa kritik terhadap pendekatan ini. Pertama,  pendekatan ini menunjukan esensialisme yang menyesatkan, di mana dikatakan hanya gender yang menentukan sikap laki-laki dan perempuan mengenai luanya permasalahan. Kedua, pendekatan ini cenderung memarjinalisasi perempuan karena meniadakan nilai-nilai kompetisi yang ada dalam kepribadiaan perempandari usaha ekonomi di mana nilai-nilai utamanya adalah kompetisi dan kepentingan diri sendiri. Ketiga, di bawah pendekatan ini kategori perempuan tampaknya memiliki samacam esensi yang dapat ditemukan, baik secara alamiah maupun diskontruksikan secara social. Secara lamiah suara tersebut menimbulkan pertanyaan, bagaimana kita mengetahui bahwa itu suara perempuan, untuk berbcara bagi dirinya sendiri salama mereka masih menjadi korban subordinasi laki-laki. Jika dikontruksi secara social, perbedaan suara hanyalah suara lain dari patriarkhi, karena suara tersebut dikonstruksi dalam rangka menanggapai\laki-laki. Keempat, feminisme budaya menegaskan ciri-ciri yang hanya mengangkat kaloborasi perempuan dengan penindasannya.[41]



8)   Femisnisme Asimilasi
Aliran ini merupakan versi lebih ekstrim tinimbang pendekatan liberal. Dinyatakan bahwa masyarakat yang nonseksis di mana tidak ada perbedaan jenis kelamin, baik secara hokum atau kelembagaan, atau pada level individu  ketidaksamaan fisik dikatakan tidak relavan bagi struktur social yang mendistribusikan masalah-masalah politik, institusi atau interposanal.
Kritik terhadap pendekatan ini menunjukkan bahwa hal ini merupakan seks yang sepele. Dengan melibatkan masyarakat menciptakan kesamaan antra laki-laki dan perempuan, hal tersebut akan menghalangi kesenangan kita terhadap perbedaan jenis kelamin. Dan lagi, pendekatan ini, seperti pendekatan liberal, menerima ‘kelaki-lakian’ sebagai norma. Mereka menyatakan bahwa dengan memperlakukan peran seks sebagai paradigm akan menghasilkan perbedaan peran seks yang menyakitkan.[42]
9)   Feminisme inkorporasionis
Pendekatan ini mengajukan suatu batas tega bagi hukum dalam memperhitungkan perbedaan jenis kelamin, membatasi hanya pada aspek unik bagi perempuan, yakni mengandung dan menyusui. Dengan demikian, pendekatan ini tidak meniadakan perbedaan jenis kelamin atau memperluas perbedaan itu pada semua area hokum, politik dan institusi.
Kesulitan dengan pendekatan ini adalah bahwa pendekatan ini mengaburkan fakta dominasi dengan menganaggap ketidakadilan seksis ebagai semata-mata rasionalitas yang dapat diperbaiki, bukan mengekspos sepremasi laki-laki sebagai suatu system social yang lengkap.[43]


[1] John L. Espoito, “Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern” (Bandung: Mizan, 2001), 310.
[3]Ibied,.

[4]Lia Mutia, Emansipasi Wanita Dalam Perspektif Al-Qur'an “http://liaymutia.blogspot.com/2010/04/emansipasi-wanita-dalam-perspektif-al.html”, (Diakses Pada   20 Desember 2010).

[5]H.R. Otje Salman dan Anthom F. Susanto, “Teori Hukum Mengingat, mengumpulkan dan Membuka Kembali”, ( Bandung: PT. Rafika Aditama, 2008),  130.
[6] WIKIPEDIA, “Feminisme,” http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme, (diakses pada 22 Oktober 2010).
[7]  Ibied.,
[8]Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan MarkusY. Hage,  “Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generas”,  (Yogyakarta: Genta Publishing. 2010), 182. 
[9] WIKIPEDIA, Feminisme, Op. Cit.,
[10] Ibied.,
[11] Ibied.,                               
[12]Wikipedia, Op, Cit.,
[13]Ibied.,
[14]Ibied.,
[15]Ibied., 
[16]Ibied., 
[17]A. Mukhtie Fadjar, “Teori-Teori HUkum Kontemporer” (Malang: In-Trans Publishing,  2008), 88.
[18] Tapi Omas  Ihromi, Sulistyowati Irianto dan Achie Sudiarti Luhulima “Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita”  (Bandung: Penerbit  Alumni, 2000), 96.
[19] Ibid., 131.
[20]Tapi omas ihromi, sulistyowati irianto dan achie sudiarti, Op, Cit., 97.
[21] Ibied.,
[22].R. Otje Salman dan Anthom F. Susanto, Op. Cit., 135.
[23] Ibied,
[24] Ibied.,
[25] Ibied.,
[26] Tapi Omas Ihromi, Op, Cit., 106-107.
[27] H.R. Otje Salman, Op, Cit., 135.
[28] Tapi Omas Ihromi, Op, Cit., 107.
[29] A. Mukhtie Fadjar, Op.. Cit., 103-104.
[30] Wikipedia, Op, Cit.,
[31] ibied.,
[32] Ibied.,
[33]Tapi Omas Ihromi, Op, Cit.,  103-104.
[34] Wikipedia, Op, Cit.,
[35]Rosemarie Putnam Tong, “Feminits Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis”, Diterjemahkan Aquarini Priyatna Prabasmoro, Feminist Thought (Cet. IV;  Jogjakarta dan Bandung: Jalasutra, 2008), 141.
[36]Ibied., 148.
[37]Wikipedia., Op., Cit.  
[38]Ibied.,
[39]Rosemarie Putnam Tong, Op, Cit., 189-190
[40]Romany Sihite., Op, Cit., 6-7.
[41]Tapi Omas Ihromi, Op, Cit.,  102.
[42]Mukhtie Fadjar., Op, Cit., 92-93.
[43]ibied., 95.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar