a.
Sejarah Feminisme
1)
Feminis Di
Zaman Rosulullah
Hampir 15 abad lalu, di Jazirah Arab yang
didominasi laki-laki (patrilineal), wanita hampir tidak dianggap sama-sekali
keberadaannya, Rasulullah saw membawa Revolusi yang mengangkat harkat dan
martabat wanita, jauh sebelum emansipasi wanita dikampanyekan wanita di Barat.
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sangat menagangkat
derajat kaum perempuan dibandingkan dengan priode pra Islam (jahiliah). Sebelum
Islam, kaum laki-laki memperlakukan kaum perempuan sebagai harta milik mereka,
dinikahi dan dicerai dengan seenaknya. Perempuan di jadikan objek praktik
poligami. Dan anak-anak perempuan dibunuh ketika masih bayi. Pada umumnya
perempuan tidak mempunyai hak suara dalam memilih pasangannya, dan ketika
menikah mereka tidak memiliki jaminan financial, Karena mahar diberikan
langsung kepada wali laki-laki mereka. Meskipun demikian, tampaknya beberapa
perempuan pra-Islam melakukan poliandri serta memilih dan mencari suami-suami
mereka. Perempuan tidak diharuskan berjilbab dan tidak pula dikucilkan,
sebagian perempuan adalah para penyair dan sebagian yang lain bahkan ikut
berperang bersama kaum laki-laki.[1]
Kedatangan
Rasulullah pada zaman ini mengangkat derajat wanita yang sangat tidak dihargai
pada waktu itu. Rasulullah dengan tegas menyampaikan bahwa perempuan adalah
mahluk yang setara dengan dengan laki-laki dan tidak benar jika ada
tindakan-tindakan yang mencoba untuk melakukan diskriminasi terhadap kaum
perempuan.
Syariat Islam
menanggapai beberapa kasus ketidaksetaraan gender yang lebih mencolok pada masa
pra-Islam. Contohnya, peraturan Islam melarang melakukan pembunuhan terhadap
bayi perempuan, menghilangkan status perempuan sebagai barang, menekankan sifat
kesepakatan, dan bukan pemilikan, pada perkawninan menegaskan bahwa istri dan
bukan bapaknya yang secara langsung menerima mahar, menetapkan bahwa seorang
perempuan berhak mengontrol dan menggunakan harta miliknya dan menggunakan nama
semasa gadis setelah ia menikah, mendapat nafkah dari suaminya, mempunyai hak
privasinya, melarang suaminya memata-matai atau menjebak istrinya, menjaga
perempuan dari pengusiran setelah perceraian dengan mengharuskan suaminya
member nafkah kepada bekas istrinya selama tiga kali putran menstruasi (hingga
melahirkan apabila ia hamil).[2]
Ada beberapa perubahan-perubahan yang dibawah oleh rasulullah dan sekaligus hal
ini bisa menepis isu bahwa Islam adalah agama yang gender, yaitu:[3]
a. Hakikah. Hakikah sebelum kedatangan Muhammad
SAW. itu hanya dilakukan pada bayi lak-laki dan ini sangat terkait dengan
kondisi masyarakat jahiliyah yang sangat paternalistik. Maka Beliau melakukan
reformasi sistem hakikah yang sesuai dengan nilai-nilai islami yaitu dengan
memberikan legalitas untuk melakukan hakikah bagi bayi perempuan atas nama kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan.
b. Kebiasaan menggendong bayi perempuan. Dikarenakan anak laki-laki
Rasulullah tidak ada yang berumur panjang maka beliau sering nampak bermain
dengan anak perempuannya di halaman rumah dan bagi masyarakat arab pada waktu
itu hal tersebut merupakan kebiasaan yang sangat terlarang. Melihat Rasulullah
menggendong bayinya di halaman rumahnya, segera seorang sahabat menegur bahwa
itu bukan kebiasaan yang orang-orang lakukan dengan santai rasulullah menjawab
bahwa tidak ada perbedaan bagi laki-laki dan perempuan di mata Allah. Dengan
segera masyarakat waktu itu sadar bahwa selama ini mereka berasa dalam sistem
yang sangat represif dan penuh kepentingan bagi mereka yang berkuasa
(laki-laki).
c. Warisan. Sebagaimana disebutkan diatas bahwa warisan itu hanya
milik kaum laki-laki yang bukan budak, laki-laki budak tidak masuk dalam hukum
warisan ini. Setelah kedatangan Rasulullah, hukum tentang warisan tersebut
dirubah dan memberikan wanita bagian dalam warisan. Ini sangat mengangkat
derajat wanita karena pada waktu itu laki-laki arab seenaknya menikah dan
meninggalkan istrinya tanpa warisan bagi mereka untuk bertahan hidup.
Rasulullah membuka pemikiran masyarakat bahwa wanita juga berhak mendapatkan
property dari suaminya sebagai tempat mereka tinggal. Hal ini dilakukan agar
para Istri tidak terlantar suatu saat jika suami-suami mereka mencoba untuk
berbuat curang.
d. Mahar. Dahulu mahar itu bukan hak untuk mempelai wanita
melainkan hak bagi walinya. Rasulullah membuat undang-undang yang sampai saat
ini dijalankan oleh masyarakat arab yaitu mahar untuk mempelai wanita. Mahar
ini tidak seperti layaknya di Indonesia hanya terdiri atas seperangkat alat
sholat dan cincin emas melainkan berupa kapital atau property agar mereka tidak
terlantar kelak jika suami mereka meninggal atau berbuat curang. Inilah yang
mengakibatkan laki-laki arab sangat sulit menikah dengan wanita arab karena
mereka harus menyediakan segala keperluan pokok seperti rumah beserta isinya
dan keperluan pokok lainnya. Namun untuk membantu warganya pemerintah arab
melakukan subsidi untuk mahar bagi rakyatnya yang ingin menikah. Jadi sangat
jelas bahwa dengan adanya aturan ini harkat dan martabat perempun ditinggikan
oleh Islam tidak seperti yang dilakukan budaya Jahiliyah.
e. Meluruskan ajaran poligami. Hukum pologami pada waktu itu adalah
boleh menikahi wanita tanpa adanya batasan dalam hal jumlah dan lebih parahnya
lagi mereka tidak mendapatkan warisan apapun dari suami-suami mereka. Jadi
mereka seenaknya menikah dan menceraikan istri-istri mereka. Tetapi pasca
kedatangan rasulullah aturan tersebut direvisi dengan membatasi menjadi 4.
Angka 4 dipilih karena pada waktu itu angka terbanyak yang disebutkan oleh
orang arab apabila diminta untuk berhitung. Dalam hal ini rasulullah menekankan
aspek keadilan dalam hal berpoligami dan jelas bahwa ajaran poligami itu murni
buatan budaya jahiliyah rasulullah hanya menyempurnakan ajaran tersebut untuk
keadilan bagi mereka. Langkah ini dilakukan rasulullah sebagai kohesi sosial
yang damai tanpa harus merombak struktur masyarakat yang ada secara total
karena perombakan total pasti akan mendapatkan perlawanan dari masyarkat
sekitar. Rasulullah menekankan bahwa apabila tidak mampu untuk adil maka
seseorang berhak menikahi satu wanita saja. Rasulullah juga melakukan poligami
bukan untuk tujuan kebutuhan biologis. Tercatat bahwa lebih dari dua puluh
wanita yang beliau nikahi dalam kurun waktu tujuh tahun hanya sebagai syarat
perang untuk melapaskan perempuan-perempun tawanan perang dari perbudakan,
setelah akad nikah Rasulullah tidak pernah lagi bertemu dengan wanita-wanita
yang dinikahinya tersebut. Jadi ini bisa menepis isu lain bahwa Rasulullah itu
senang berpoligami karena beliau menikah dengan wanita-wanita tersebut hanya
sebagai syarat pembebasan mereka dari perbudakan tanpa diikuti oleh kebutuhan
biologis.
f. Hijab. Semasa Rasulullah tidak ada hijab di mesjid nabawi sehingga
laki-laki dan perempuan dengan bisa berdiskusi satu sama lain untuk
membicarakan hal-hal yang menjadi isu hangat pada waktu itu. Disini juga kita
lihat bagaimana rasulullah menbangun suasana dialogis dikalangan umantnya.
Ajaran Islam tidak secara skematis membedakan faktor perbedaan
laki-laki dan perempuan tetapi lebih cenderung memandang kedua insan ini secara
utuh, antara satu dengan lainnya secara biologis dan secara sosial saling
membutuhkan. Boleh jadi, suatu peran dapat diperankan keduanya, tetapi dalam
peran-peran tertentu hanya dapat diperankan oleh salah satunya. Yang jelas,
Islam telah berperan besar dalam mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan.
Kalau dalam masyarakat sebelumnya perempuan diperlakukan sebagai
"barang", maka setelah Islam datang membawa ajarannya, perempuan
terangkat menjadi manusia yang tak berbeda dengan laki-laki.[4]
Dalam gerakan Islam modern, salah satu aspek yang berusaha
ditonjolkan adalah pemahaman baru terhadap ajaran Islam yang berkaitan dengan
kaum perempuan. Rifa’at at-Tahthawi menyatakan bahwa kaum perempuan mesti
memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki. Mereka harus memperoleh
pendidikan agar dapat menjadi isteri yang baik dan menjadi partner suami dalam
kehidupan intelek dan sosial, juga agar dapat bekerja seperti laki-laki sesuai
dengan batas-batas kesanggupan dan pembawaannya. Ide ini dibawa lebih lanjut
oleh Qasim Amin yang menulis buku Tahrîr al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadîdah
yang di dalamnya dia menekankan emansipasi perempuan dalam Islam. Senada dengan
hal tersebut, Muhammad Iqbal menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan pada masa
sekarang sudah harus disejajarkan.
2)
Feminis Di
Eropa
Sebelum
membahas lebih jauh tentang teori legal feminist, dan mengetahui apa saja yang
berada dalam lingkup teori legal femisnist, langkah awal dari semua itu adalah
mengetahui tentang sejarah feminis Disini akan Memaparkan tentang sejarah dari
feminisme. Gerakan feminist dalam hukum atau biasa disebut dengan beberapa
sebutan seperti feminist legal theory (FLT), feminist jurisprudence, women and the law,
feminist analysis of law, feminist perspectives on law, dan feminist legal scholarship. muncul sekitar akhir tahun 1970-an atau awal
1980-an. Beberapa dari pergerakan ini (tidak semuanya) berakar atau berkaitan
dengan gerakan hukum kritis (critical
legal studies movement), namun segian besar gerakan ini berada di luar
jalur tradisi-tradisi critical legal
studies (CLS) dan bahkan pada kenyataannya dikembangkan justru sebagai
suatu respon kritis terhadap pergerakan ini. [5]
Feminisme
sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang
dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah
Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa
posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya.
Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak
memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas
milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama
dengan laki-laki di hadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah
untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota
di selatan Belanda.[6]
Kata feminisme
dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa
ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill,
"Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada
tahun (1869). Perjuangan
mereka menpandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya
gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan
perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua
bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial,
pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang
bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang
berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar
rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami
perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan
terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke
seluruh dunia. [7]
Konstruksi bahwa perempuan lebih lemah dari
laki-laki, disebarkan juga oleh agama-agama besar yang kita kenal, misalnya
dalam ungkapan “perempuan terbuat dari tulang rusuk laki-laki”, “ laki-laki
lebih berkuasa dari perempuan”, “ pada masa dewasa seorang perempuan harus selalu
ada di bawah kekuasaan laki-laki”.[8]
Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap
kaum perempuan memperburuk situasi. Di lingkungan agama Kristen terjadi
praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya
gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan "tua"
hanya dapat dijabat oleh pria.[9]
Pergerakan di
Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh Amerika
Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul
"Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman)
yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari.[10]
Pada
tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan
praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan dengan adanya
perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan, diberi kesempatan ikut dalam
pendidikan, serta hak pilih. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan
yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa.
Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut
sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).
Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi
awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik
kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen.
Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian
menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian
menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the
Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh
nilai-nilai maskulin. Banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak
semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga
seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan.[11]
3) Perkembangan Feminis Di
Amerika Serikat
Gelombang
feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan
dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas,
lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National
Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang
kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong
dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati
kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk
pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih
secara penuh dalam segala bidang[12]
Gerakan
feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan
bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang
akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan
dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti
konkret yang diberikan kaum feminis.[13]
Gerakan
perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada
perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak
mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student
for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian
dilanjutkan di Chicago pada tahun
yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal"
dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan
singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum
perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis
terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan
penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini
secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka
anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh
perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat
sambutan di mana-mana di seluruh dunia.. Pada 1975, "Gender, development, dan
equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah
membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak
itu, arus pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia. [14]
Memasuki era 1990-an, kritik
feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur
penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam
institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang
menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap
institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran
perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains
untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata
eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi
nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum
perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal
demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam
memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.[15]
Berangkat dari
kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn
Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya
genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan
bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist
science). Terdapat beberapa kondisi yang menyebabakan lahirnya teori legal
feminist yaitu: pertama; pada abad
ke-19 sejumlah usaha di lakukan untuk memperoleh hak-hak dalam hukum dan
menghasilkan tulisan-tulisan di berbagai bidang studi yang kemudian memabawa
pengaruh kepada para sarjana hukum. Kedua; pada tahun 1960-an terdapat
banyak perempuan yang memasuki pendidikan sekolah hokum dan juga dalam hal
prakteknya. Ketiga; banyak
kasus-kasus atau persengketaan yang di alami oleh kaum perempuan yang berujung
di pengadilan dan berhasil di selesaikan.[16]
b.
Tema-tema Umum
Ada beberapa
tema yang biasanya di bahas dalam teori legal feminist di antaranya adalah:
1.
Kritik Terhadap Sejarah
Menurut kaum
feminist, para ahli sejarah menulis sejarah dari sutud pandang laki-laki dan
meniadakan sudut pandang perempuan. Mereka tidak mengarapkan kaum feminist ikut
berkecimpung dalam menyusun struktur masyarakat, menyusun sejarah dan
membiarkan bagaimana perempuan hidup dalam kehidupannya sendiri.
Inklusif
perempuan dalam penulisan sejarah mulai pada tahun 1970an. Tulisan ini berusaha
keras menunjukkan.[17]
a)
Kesalahan dalam sejarah yang meniadakan
pandangan dari perempuan. Mereka menentang periodisasi tradisional sejarah,
misalnya periode Renaissance secara
tradisional dianggap suatu periode dari kelahiran kembali peradaban barat,
bahkan ketika para perempuan dibakar kerena tuduhan tukang teluh, dijinakkan
sebagai istri kaum borjuis, dan dikeluarkan dari formulasi liberty-equality-fraternity revolusi prancis.
b)
Mereka menunjukan bahwa sejarah yang ditulis
laki-laki telah menciptakan bias androsentris dalam konsepsi kita mengenai
sifat manusia, potensi gende, dan susunan masyarakat.
2.
Kritik Terhadap Yurisprudensi Patriarkhi
Sarjana feminist merasa bahwa aliran pokok dari yurisprudensi
adalah bersifat patriarki. Mereka memandang bahwa doktrin hukum mendefinisi
kaum laki-laki dan melindunginnya, tidak melindungi perempuan. Mereka berpendapat bahwa dengan menghiraukan
perbedaan gender maka gagasan pokok hokum akan mengekalkan kekuasaan patriarki.
Sarjana feminist menunjukkan bahwa doktrin hukum, praktek hukum dan
bahaa hokum menunjukkan adanya sexism.
mereka berpendapat bahwa patriarki memiliki kekuasaan untuk memberi penamaan dan
kategori mengenai sesuatu yang bernilai atau tidak bernilai, dihitung atau
tidak, dicatat atau tidak, dan bahasa yang diciptakan oleh laki-laki mengenai
laki-laki. Kemudian apa yang di ciptakan tersebut menjadi norma. Akibatnya
selanjutnya adalah kecenderungan pembelaan hukum yang mencari aturan-aturan
yang kemprehensif berdasarkan norma tersebut.[18]
Feminis
jurisprudence mencoba secara fundamental menentang beberapa
asumsi penting dalam teori hukum konvensional dan juga beberapa kebijakasanaan
konvensional dalam penelitian hokum kritis. Kaum feminis sangat dipengaruhi
oleh pemikiran feminis dalam filsafat, psikoanalisis, semiotic, sejarah,
antropologi, postmodernisme, kritik sastra dan teori politik. Tetapi lebih jauh
dan mendasar gerakan ini lebih melihat dan mengambil dari pengalaman-pengalaman
yang dialami kaum wanita.[19]
3.
Kririk Terhadap determinasi biologis
Sarjana
feminist menolak adanya deteminasi biologis, karena hal tersebut mempunyai
pengaruh dalam membatasi kekuasaan perempuan dan segala opsi mereka. Para kaum
feminist berkeyakinan bahwa gender diciptakan secara social bukan secara
biologis. Jenis kelamin menentukan problem misalnya genitalia, moral dan
bentuk-bentuk social yang diberikan kepada masing-masing gender.
4.
Adopsi dialektika jenis kelamin atau gender
sarjana
feminist menolak gaya patriarkhis yang mendua yang membedakan jenis kelamin dan
gender. Mereka menunjukkan adanya hubungan dialektika di antara keduanya, dan
interaksi di antara keduanya. Keduanya tidak tergantung satu sama lain secara
absolute tetapi mereka berpendapat bahwa dikotomi patriarkhis mencegah kita
untuk melihat adanya inter hubungan ini.[20]
5.
Bebrapa komitmen bersama
Agenda
penelitian para sarjana feminist bermacam-macam, tetapi dalam konteks ini merka
pemikiran beberapa komitmen bersama yaitu:
a)
Secara politis, mereka mencari persamaan
antara laki-laki dan perempuan
b)
Secara analitis, mereka membuat gender sebagai
kategori analisis untuk tujuan merekonstrusi praktek hukum yang meniadakan
kepentingan perempuan.
c)
Secara metodologis, mereka menggunakan
pengalaman-pengalaman perempuan untuk mendeskripsikan dunia dan menunjukkan
transformasi yang dibutuhkan. Mereka terutama yang mendasarkan pada wacana
pengalaman untuk menganalisis persoalan-persoalan yang menjadi perhatian mereka
seperti hierarki gender, objektifikasi seksual, dan struktur social. Mereka
menggunakan metedo tersebut untuk menemukan seksualitas yang otentik, dan
realitas kondisi perempuan. Namun, tulisan-tulisan mereka terkadang
mencerminkan kekhawatiran apakah metode ini tidak terlalu indivisualistik.[21]
c.
Metodologi
Feminist
Ada beberapa aspek metodologi feminist di
antaranya meliputi:
1. Bersifat Pengalaman
Metode ini mengistimewakan suatu “ pemahaman
praktisi feminist” yang dapt mencakup semua aspek logika deduktif, tetapi
mempertimbangkan logika pengalaman-pengalaman konkrit dan unik yang dimensi,
tetapi memandang mereka “ sebagai dilema dengan sudut pandang, kontradiksi dan
ketidakkonsistenan yang beragam”. Pendekatan ini bertentangan dikotomisasi yang
diberlakukan oleh pengadilan yaitu pertanyaan ya atau tidak dalam proses
persidangan. Metode ini sifatnya kontekstual, tetapi situasi yang baru
menampakkan kemungkinan yang lebih besar untuk pemahaman serta “integrasi dan rekonsilias imaginative”.[22]
Dalam metode ini pengalaman sebagi basic ilmu pengetahuan untuk
menganalisis dari struktur social, hierarki gender dan objektivitas seksual.
Analisis ini bersifat pengalaman dari
pengalaman-pengalaman yang konkrit sebagai pokok kajian.
2. Membangkitkan Kesadaran
Munculnya kesdaran tujuannya adalah untuk
individual dan pemberdayaan kolektif, bukan untuk dendam pribadi. Sekali lagi,
kesadaran ini didapat denagn integrai pengalaman kongkrit dari yang tertekan,
refleksi diri dan teori. Selalu sensitive untuk mengadakan bentuk-bentuk
kesadaran dalam eksistensi.[23]
Secara esensial pembangkitan kesadaran tercapai
denagan cara kaum perempuan saling mendengarkan cerita-cerita pribadi di antara
sesamanya, cerita-cerita yang tenggelam dalam wacana yang terus menerus menjadi
dominan. Ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman perempuan melalui
pembangikatan kesadaran, mempromosikan gambaran mengenai luasnya pengalaman
perempuan, dan pemantapan konsekuensi yang nyata berkaitan dengan makna
kehidupan social.[24]
Pembangkitan kesadaran di antara perempuan juga memiliki konsekuensi membawa
ketiksetujuan di antara mereka mengenai masalah-masalah hetroseksualitas,
keibuan, pornigrafi, ibu pengganti, wajib militer dan sebagainya. Metode ini
kadang di kritisi sebagai mengintimidasi perempuan kedalam posisi yang tepat
secara politis.[25]
3. Menanyakan Masalah Perempuan
Metode ini mempertanyakan probelematika yang
di alami oleh perempuan mulai dari mengidentifikasi komponen genderdan
implikasinya dari konvensi hokum yang dinyatakan netral dan prakteknya. Metode ini untuk menggali impliksi gender
dilakukan dengan meneliti bagaianaka hokum yanga ada lebih menyukai nilai
laki-laki ketimbang nila-nilai perempuan, dan bagaimanakah hukum tersebut dapat
di perbaiki agar dapat menghapus kerugian pada perempuan.
Metode ini membuat perbedaan dengan kata lain
menajamkan materi, ia menyediakan suatumetode interpretasi yang tidak menerima
status quo dan mengungkapkan bais yang tersembunyi dalam hokum.[26] “Bertanya pada perempuan”. Yaitu, apa yang
perlu ditanyakan seringkali adalah suara bisu (silence), suara yang diasingkan. Menurut Barlett, hal ini
menyebabkan “dengan melihat permukaan hokum untuk mengidentifikasikan implikasi
aturan gender dan asumsi yang tidak mengekalkan subordinasi wanita.[27]
4. Alasan Praktis Feminist
Secara substasnsial metode ini mengurangi
setiap situasi yang tidak dapat di bah, dan memperlakukannya sebagai pertanyaan
terbuka: maslah-masalah mengenai apa, mengapa dan bagaimana sesuatu itu
seharusnya dilakukan dalam konteks yang khusus. Metode tersebut percaya bahwa
masalah-masalahnya bukan konflik dikotomis yang dapat dipecahkan melalui
dipilihnya satu prinsip ketimbang prinsip lain, melainkan problem-problem
tersebut dicirikan sebagai bersifat delematis.[28]
Pendekatan ini tidak menolak peraturan, namun
perlu mandamaikan peraturan-peraturan dengan kemungkinan fakta-fakta baru, yang
berbeda dengan metode “reducing
contingency to rules”. Dalam prosedur ini, hal itu dibawa ke dalam woman question untuk menentang
peraturan-peraturan yang seolah-olah bicara secara normatif bagi keseluruhan
komunitas, tetapi sesungguhnya menyembunyikan pengabaian gender. Pemahaman
konteks digunakan untuk mengekspos ketiakadilan yang tidak menarik perhatian
yang lain.[29]
d.
Aliran-aliran Feminist
Ada beberapa pemikiran yang bisa di
kelompokkan sebagai feminist
jurisprudensi di antaranya adalah sebag berikut di bawah ini:
1) Feminisme liberal
Apa yang
disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan
perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini
menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan
antara dunia privat dan publik. Setiap manusia demikian menurut mereka punya
kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada
perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena
disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan
diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam
kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis liberal memilki pandangan
mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok
yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa
negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan
yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat
didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya,
negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali
atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung
berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat
kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik
atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist
Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri
terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan
kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang
merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan
dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta
saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan
untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang
dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak
produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat
Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan
individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring
keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada
kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional,
kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga
dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang
bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan
mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan
kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20
organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi
seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks
Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30%
kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis
liberal.[30]
2)
Feminisme Radikal
Trend
ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan
ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran
ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar
jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual
dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan
adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini
adalah sesuai namanya yang "radikal".
Aliran ini
bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat
sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara
lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme),
seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.
"The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu
menjangkau permasalahan perempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap
paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black
propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena
pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini
memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT).[31]
Bagitu juga halnya perrmpuan yang menjadi pengguna dan pengedar narkotika
karana disebabkan kemiskinan, ketidaktahuan, hubungan kekuasaan yang timpang
antara perempuan serta laki-laki, budaya dan lainnya, merupakan faktor yang
ditengarai menyebabkan perempuan terlibat dalam jaringan peredaran narkotika.
Perempuan yang dijadikan sebagai salah satu alat untuk pengedaran narkotika.
3)
Feminisme Post
Modern
Ide Posmo menurut anggapan mereka ialah ide yang anti absolut dan anti
otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena
sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan
sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur
sosial.[32]
Pendekatan ini
menklaim bahwa tidak ada satu pu teori yang tepat untuk semua perempuan, dan
tidak ada satu tujuan pun yang baik untuk semua pereman. Perempuan memiliki
manifestasi yang beragam ganda. Deminitas dan maskulinitas berkaitan dengan
wacana yang lebih luas menegenai gender, bukan merupakan wacana yang tunggal
yang dibatasi. Kategori perempuan adalah suatu identitas yang tidak mungkin
dibatasi. Pendekatan ini tidal berfokus pada kategori yang disebut perempuan.
Melainkan berfokus pada realitas perempuan yang disituasikan.
Yang ditekan
pada pendekatan ini adalah solusi praktis bagi situasi konkret. Pendekatan ini
mengkalaim adanya keutungan bila menghindari esensialisme karena penolakkannya
terhadap kategori maupun termasuk ras atau gender. Ia menunjuk pada konteks dan
berpendapat bahwa kategori semacam itu dapat bersifat determinative hanya dalam
konteks tertentu.[33]
4)
Feminisme Marxis
Aliran ini
memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber
penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori
Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini, status perempuan
jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan
produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi
keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange
dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan
perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang
berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat
borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat
diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis
Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa
negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau
hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk
memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang
menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.[34]
Kaum ini
percaya bahwa eksistensi social menentukan kesadaran. Komentar bahwa “pekerjaan perempuan tidak
pernah selesai “ bagi feminis marxis adalah lebih dari sekedar edorisme.
Kementar itu merupakan gambaran dari sifat pekerjaan perempuan. Dengan selalu
siap bertugas, seorang perempuan membentuk konsepsi dirinya yang tidak akan
dimilikinya jika perannya dalam keluarga dan di tempat kerja tidak menahannya
untuk tetap subordinat terhadap laki-lak, baik secara social maupun ekonomi.
Karena itu, kaum ini percaya untuk memahami mengapa perempuan teropresi,
sementara laki-laki tidak, kita perlu menganalisis hubungan antara status
pekerjaan perempuan dan citra diri perempuan.[35]
Dari segi
politik marxis juga menawarkan bagi feminis marxis suatu analisis kelas yang
memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari kekuatan yang mengopresinya.
Bahkan, sebagian besar pemikiran marxis ditujukan untuk membuat cetak biru agar
membimbing pekerja, laki-laki atau perempuan, bersamaan dengan usaha mereka
untuk membentuk diri sebagai suatu kelas, untuk kemudian memberikan sumbangan
terhadap transisi dari kapitalisme ke sosialisme, dan akhirnya untuk mencapai
komunitas yang utuh dan kebebasan yang penuh.[36]
5)
Feminisme sosialis
Sebuah faham
yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada
Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme
sosialis berjuang
untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir
pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide
Marx yang
menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme
sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan
bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah
jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik
dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan
gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis
bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran
feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap
patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua
kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di
Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi
dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran
maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran
feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme
dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk
melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.[37]
6)
Feminisme
postkolonial
Dasar
pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan.
Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni)
berbeda dengan perempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia
ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami
pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa,
suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme
poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan,
nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam
bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex,
and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis
kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial,
dan pendidikan.”[38]
7)
Feminisme
Psikoanalisis dan Gender
Kaum feminis psikoanalisis dan gender percaya bahwa
penjelasan fundamental atas cara bertindak perempuan berakar dalam psike
perempuan, terutama dalam cara pikir perempuan. Berdasarkan konsep Freud,
seperti tahapan Oedipal dan kompleks Oedipus, mereka mengklaim bahwa
ketidaksetaraam gender berakar dari rangkaian pengalaman pada masa kanak-kanak
awal mereka, yang mengakibatkan bukan saja cara laki-laki memanadang dirinya
sebagai maskulin, dan memandang perempuan dirinya sebagai feminine, melainkan
juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas adalah labih baik daripada
feminitas. Berhipotesis bahwa dalam masyarakat nonpatriarkal, maskulinitas dan
feminitas akan dikonstruksi secara berbeda dan dihargai secara setara, feminis
psikoanalisis merekomendasikan bahwa kita harus bergerak maju menuju masyarakat
androgin, yang di dalam masyarakat ini manusia yang seutuhnya merupakan capuran
sifat-sifat positif feminine dan maskulin.
Tidak seperti feminis psikoanalisis, feminis
gender (kadang-kadang diacu sebagai feminis cultural) cenderung berpendapat
bahwa mungkin memang ada perbedaan biologis dan juga perbedaan psikologis, atau
penjelasan cultural atas maskulinitas laki-laki dan feminitas perempuan. Mereka
juga menekankan bahwa nilai-nilai yang secara tradisional dihubungkan dengan
perempuan (kelembutan, kesederhanaan, rasa malu, sifat mendukung, emapati,
kehati-hatian, sifat merawat, intuisi, sensivitas dan ketidakegoisan) secara
moral lebih baik daripada kelebihan nilai-nilai yang secara tradisioanl
dihubungkan dengan laki-laki (kekerasan hati, ambisi, keberanian, kemandirian,
ketegasan, ketahanan fisik, rasionalias, dan kendali emosi). Karena itu,
feminis gender menyimpulkan bahwa perempuan harus berpegang teguh pada
feminitas, dam \bahwa laki-laki harus melepaskan, paling tidak, bentuk ekstrim
dari maskulinitasnya. Menurut mereka, suatu etika kepedulian (ethics of care) feminis harus
menggantikan etika keadilan (ethics of
justice) maskulin.[39]
Oleh sebab itu, bila perempuan melakukan
tindakan berbeda dengan apa yang di harapkan masyarakat , mereka dicap sebagai
aneh abnormal, bertingkah laku menyimpang. Di Indonesia, misalnya perempuan
yang yang bias merokok sering dianggap bukan perempuan baik-baik. Berbeda
halnya dengan laki-laki, merokok justru dianggap ebagi symbol maskulinitas.
Padahal dalam segi kesehatan sama-sama merugikan dan mendatangkan bahaya baik
perempuan dan laki-laki. Perempuan di ranah public dikontrol sedemikian rupa
sehingga dihadapkan pada kesenjangan akses pada social space and recreation. Untu kasus perempuan sebagi penyalahgunaan
dan tindak pidana narkoba, selain ditinjau dari aspek hokum merupakan tindak
criminal secara social perempuan, akan mendapatkan stigmatisasi yang lebih
keras ketimbang laki-laki.[40]
Feminis gender
atau cultural ini berfokus pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan
justru mensyukuri adanya perbedaan tersebut.
Ada beberapa kritik terhadap pendekatan ini. Pertama, pendekatan ini
menunjukan esensialisme yang menyesatkan, di mana dikatakan hanya gender yang
menentukan sikap laki-laki dan perempuan mengenai luanya permasalahan. Kedua, pendekatan ini cenderung
memarjinalisasi perempuan karena meniadakan nilai-nilai kompetisi yang ada
dalam kepribadiaan perempandari usaha ekonomi di mana nilai-nilai utamanya adalah
kompetisi dan kepentingan diri sendiri. Ketiga,
di bawah pendekatan ini kategori perempuan tampaknya memiliki samacam esensi
yang dapat ditemukan, baik secara alamiah maupun diskontruksikan secara social.
Secara lamiah suara tersebut menimbulkan pertanyaan, bagaimana kita mengetahui
bahwa itu suara perempuan, untuk berbcara bagi dirinya sendiri salama mereka
masih menjadi korban subordinasi laki-laki. Jika dikontruksi secara social,
perbedaan suara hanyalah suara lain dari patriarkhi, karena suara tersebut
dikonstruksi dalam rangka menanggapai\laki-laki. Keempat, feminisme budaya menegaskan ciri-ciri yang hanya
mengangkat kaloborasi perempuan dengan penindasannya.[41]
8)
Femisnisme Asimilasi
Aliran ini
merupakan versi lebih ekstrim tinimbang pendekatan liberal. Dinyatakan bahwa
masyarakat yang nonseksis di mana tidak ada perbedaan jenis kelamin, baik
secara hokum atau kelembagaan, atau pada level individu ketidaksamaan fisik dikatakan tidak relavan
bagi struktur social yang mendistribusikan masalah-masalah politik, institusi
atau interposanal.
Kritik
terhadap pendekatan ini menunjukkan bahwa hal ini merupakan seks yang sepele.
Dengan melibatkan masyarakat menciptakan kesamaan antra laki-laki dan
perempuan, hal tersebut akan menghalangi kesenangan kita terhadap perbedaan
jenis kelamin. Dan lagi, pendekatan ini, seperti pendekatan liberal, menerima
‘kelaki-lakian’ sebagai norma. Mereka menyatakan bahwa dengan memperlakukan
peran seks sebagai paradigm akan menghasilkan perbedaan peran seks yang
menyakitkan.[42]
9)
Feminisme inkorporasionis
Pendekatan ini mengajukan suatu
batas tega bagi hukum dalam memperhitungkan perbedaan jenis kelamin, membatasi
hanya pada aspek unik bagi perempuan, yakni mengandung dan menyusui. Dengan
demikian, pendekatan ini tidak meniadakan perbedaan jenis kelamin atau
memperluas perbedaan itu pada semua area hokum, politik dan institusi.
Kesulitan dengan pendekatan ini
adalah bahwa pendekatan ini mengaburkan fakta dominasi dengan menganaggap
ketidakadilan seksis ebagai semata-mata rasionalitas yang dapat diperbaiki,
bukan mengekspos sepremasi laki-laki sebagai suatu system social yang lengkap.[43]
[2]ISLAM, GENDER
DAN PLURALISME http://haerilhalim.wordpress.com/2010/09/04/islam-gender-dan-pluralisme/”, (Diakses Pada 20 Desember 2010).
[4]Lia Mutia, Emansipasi Wanita Dalam Perspektif Al-Qur'an “http://liaymutia.blogspot.com/2010/04/emansipasi-wanita-dalam-perspektif-al.html”, (Diakses Pada 20
Desember 2010).
[5]H.R. Otje Salman dan Anthom F. Susanto, “Teori Hukum Mengingat, mengumpulkan dan
Membuka Kembali”, ( Bandung: PT. Rafika Aditama, 2008), 130.
[8]Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan
MarkusY. Hage, “Teori
Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generas”, (Yogyakarta: Genta Publishing.
2010),
182.
[18] Tapi Omas Ihromi, Sulistyowati Irianto dan Achie
Sudiarti Luhulima “Penghapusan
Diskriminasi Terhadap Wanita”
(Bandung: Penerbit Alumni, 2000),
96.
[35]Rosemarie Putnam Tong, “Feminits Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama
Pemikiran Feminis”, Diterjemahkan Aquarini Priyatna Prabasmoro, Feminist Thought (Cet. IV; Jogjakarta dan Bandung: Jalasutra, 2008),
141.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar